Personal Branding untuk Profesional: Stand Out from the Crowd
Oleh: Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)
Personal Branding is not just
about being a popular figure
but also how to become a chosen figure
Bagaimana seseorang bisa menonjol dalam kerumunan (stand out from the crowd)? Salah satu jawabnya adalah dengan personal branding. Bayangkan, kita hidup di era dunia sesak media sosial (media saturated era) sekarang ini. Semua orang bisa berbicara apa saja, semua orang bisa berkomentar apa saja, semua orang bisa menampilkan dirinya sedemikian rupa. Siapa yang pada akhirnya bisa menonjol dan terpilih? Ini pertanyaan yang menggelitik untuk ditemukan jawabnya.
Bahasan yang lebih akademik disampaikan oleh Tom Nichols lewat buku “The Death of Expertise” (matinya kepakaran). Secara ekstrem dia mengatakan bahwa 90% dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah. Tentu, membaca pernyataan ini, kita tak perlu bertanya apakah benar 90% sampah? Pernyataan itu mengandung pesan moral bagaimana seseorang mesti hati-hati. Termasuk memilih rujukan yang benar, karena semua orang bisa mengklaim diri sebagai“Pakar”.
Saya jadi teringat salah satu penulis favorit saya. Tak lain tak bukan Paulo Coelho. Dia pernah menulis novel berjudul berjudul “The Winner Stands Alone” yang diterjemahkan Gramedia dengan judul “Sang Pemenang Berdiri Sendirian”. Penulis Brasil yang lahir tahun 1947 ini cukup apik mengemas cerita. Novel itu bercerita tentang orang yang mengejar karir, sampai puncak. Tapi kemudian takut kehilangan popularitas, menghalalkan segala cara untuk mempertahankannya dan berakhir dengan hidup yang hampa.
Para calon aktor dan aktris dari awal sudah berusaha membranding diri, termasuk menyewa firma untuk memoles dirinya agar bisa menonjol dalam kerumunan. Macam Jackie Chan misalnya dengan kharakter senyumnya yang khas, lucu dan ahli bela diri. Menjadikan film-filmnya banyak digemari. Atau Aktris Bollywood semacam Kajol Mukherjee pemeran dalam film “Kuch Kuch Hota Hai” yang juga punya senyum khas, kharakter pas untuk peran terzalimi tapi berakhir manis pada akhir ceritanya. Untuk capai semuanya, tentu tak gampang.
“Ah ini kan cuman obrolan duniawi semata”. Ya, saya memang sedang bicara hal profan (duniawi), walau sebenarnya bisa ditarik juga ke sisi yang lebih sakral. Tapi saya sedang tak masuk ke ruang itu. Saya hanya sedang ingin sedikit menelisik bagaimana kita bisa menjadi manusia-manusia terpilih di tengah kerumunan sesak media sosial yang semuanya bisa mengklaim diri sebagai pakar ini. Semuanya itu untuk menengok diri kita yang tentu dan pasti punya modal juga. Bisa modal pengetahuan (ilmu), skill (kecakapan) dan tentu saja pengalaman yang tak bisa dianggap enteng begitu saja. Dan ini bisa kita optimalkan.
Mungkin ada yang bilang “Saya adalah saya, terserah orang mau bilang apa”. Dalam falsafah Jawa, itu mungkin “bener” tapi tidak “pener”. Pener adalah “beyond” (melampaui) bener. Bener belum tentu pener. Tapi kalau pener dia pasti bener. Di sini, arti bener lebih kepada bagaimana kita menyatakan atau mengatakan kebenaran tapi tetap tahu situasi dan kondisi. Saya adalah saya, ya itu benar. Tapi berkata “Terserah orang mau bilang apa”, kurang “pener”.
Kenapa? Kita sekarang hidup dalam era benar-benar hiperkompetitif. Di era ini, tidak hanya barang dan jasa saja yang dipertandingkan, berkompetisi. Tapi citra diri juga mesti terkelola dengan baik. Orang mungkin pernah berbuat salah, jatuh, bahkan mencapai titik terendah. Tapi, kalau kita kembali misalnya belajar dari novel “The Winner Stands Alone” di atas, ada kabar baik.
Salah satu pesan moral dari novel itu, dunia mengajarkan kita bahwa tidak ada yang namanya “satu-satunya kesempatan”, kehidupan dan alam semesta akan selalu memberikan kita kesempatan yang baru selama kita tidak pernah berhenti untuk mencoba dan berusaha keras. Pada akhirnya kita memang sering menjalani ini semua sendirian, oleh karena itu kita harus belajar untuk mandiri dan jangan pernah mengharapkan bantuan orang lain terlalu banyak.
Kembali keperihal personal branding. Di mana, personal branding sendiri, sejatinya adalah rangkaian kegiatan keseharian seseorang di mana akan membentuk sebuah impresi dan ini yang akan dikenang dan membekas dibenak orang-orang di sekitarnya. Pertanyaannya: Impresi seperti apakah yang ingin dibangun dan membekas di benak mereka? Jangan-jangan kita sendiri belum punya road map-nya.
Padahal ‘Branding is a process’. Proses itu yang harus dijaga. Ia (branding), saya kira juga bukan semata kegiatan beriklan, tetapi adalah action. Kegiatan sehari-hari itulah yang bisa “MAKE’ or “BREAK’ sebuah branding yang tak lain tak bukan adalah Anda sendiri. Kita sendiri. Itu sebabnya, kenapa kadang produknya kelihatan biasa saja, tapi serapannya sangat luar biasa. Semua karena pesona personal branding.
Saya kasih contoh. Misalnya cerita kawan kuliah istri saya di Semarang. Lulusan Undip itu punya produk biasa saja, tas-tas dari anyaman plastik daur ulang. Tapi, sang Founder sekaligus CEO-nya, rutin membagikan kisahnya. Misalnya dalam sebuah kesempatan dia menceritakan bagaimana selain produknya itu sangat ramah lingkungan. Ternyata juga bisa menolong puluhan janda dan ratusan orang di sekitarnya karena terlibat dalam produksi tas rumahan itu.
Alhasil, ia menang kompetisi bisnis, mendapat suntikan dana dari pemerintah. Dan produknya bisa diekspor ke berbagai negara, semisal Jepang dan Korea. Itu sekelimut rahasia bagaimana personal branding bisa membawa seseorang menonjol, karya dan jasanya dipilih. Terlihat sederhana cara bekerjanya. Tapi sulit pelaksanaannya. Kabar baiknya, sulit itu kategori bisa. []