Indonesia: O Tempora, O Mores
Oleh:Yons Achmad
(Storyteller. Founder Brandstory.id)
Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Dengan ungkapan yang serupa, Cicero (106-43 SM) pernah juga berkeluh kesah di tengah kehidupan dengan pemandangan “Tak ada yang beres” pada zaman Romawi itu. Ungkapan itu, “O Tempora, O Mores”, artinya kurang lebih “Oh Waktu, Oh Perilaku”. Kalau ditafsirkan lebih sastrawi boleh dibilang “Ya Ampun Waktu, Ya Ampun Kelakuan!”
Kalau boleh jujur, inilah pemandangan kita. Indonesia sekarang. Setidaknya, sejak 2014-2024. Dan rupanya, belum ada tanda-tanda semakin baik. Seperti kehidupan waktu itu. Cicero dengan akal kritisnya terus menyuarakan “kebenaran”. Hasilnya, malah membuatnya diasingkan dan akhirnya dieksekusi. Kabar baiknya, tulisan-tulisannya tetap meninggalkan pengaruh yang luar biasa selama berabad-abad lamanya. Persis seperti ungkapannya “Kehidupan orang yang meninggal, ada dikenangan mereka yang masih hidup.”
Kalau kita liat dan rasakan. Kehidupan politik kita sekarang memang penuh kekacauan, berantakan (messy), amburadul, absurd, penuh dengan kontroversi. Sementara, perkara etika dan adab tak pernah dianggap. Sebuah pertanyaan kecil, di tengah dunia demikian, bagaimana kita memaknainya dan apa lagi yang bisa diharapkan? Untuk sedikit mengobati keluh kesah keadaan.
Kita bisa tengok kembali, bagaimana misalnya tokoh pendiri bangsa semacam Bung Hatta pernah mengutip kalimat seorang filsuf dan penyair Jerman Friedrich Von Schiller yang mengatakan bahwa, “Zamannnya zaman besar, sayang manusianya kerdil.” Lagi-lagi, ungkapan lawas ini ternyata, kalau dipikir-pikir, masih relevan juga dengan zaman sekarang.
Bayangkan, Indonesia kurang apa? Kekayaan alam melimpah, keragaman kebudayaan menjadi khazanah tersendiri. Sumber daya Manusia (SDM) kita yang tak habis-habinya bisa “memproduksi” banyak orang pintar, para ahli, beragam Doktor dan Profesor melimpah. Tapi, kenapa Indonesia tetap saja menjadi “medioker” yang tak pernah diperhitungkan? Jangankan oleh dunia internasional, bahkan oleh bangsa sendiri. Jawabannya adalah…
Seperti kata Cicero, ”Oh Zaman, Oh Perilaku”. Ya, perilaku. Zaman Soeharto, era Orde Baru, kita saksikan bagaimana perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) terpusat di jantung kekuasaan. Sampai kemudian bangsa ini sadar untuk bisa ke luar dari semua itu. Lahirlah Gerakan Reformasi yang meruntuhkan itu semua dan kita hidup di zaman baru. Sayang, kemudian justru di era pasca reformasi, KKN malah merata hampir disemua lini mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif dari pusat sampai daerah.
Bangsa ini, khususnya dunia politik memang tak pernah benar-benar belajar dari zaman. Hasilnya, seperti kita saksikan sekarang ini. Kekuasaan benar-benar dikendalikan oligarki, sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh beberapa orang berkuasa dari golongan dan kelompok tertentu. Yang paling parah, dari keluarga sendiri. Akibatnya, negara ini yang sebenarnya punya modal lebih dari cukup menjadi bangsa yang besar, makmur dan maju tak pernah kejadian karena salah urus pemerintahan.
Kalau sudah begini, tentu kritik terus dan perlu dijalankan. Sambil, menengok kembali kearifan filosofis. Misalnya bagaimana nasihat Ronggowarsito, pujangga Jawa dalam kitabnya Kalatidha (Zaman Edan) pernah bilang “Sak bejo bejone wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo ’Seuntung-untungnya orang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada’. Ya, ingat pada Sang Kuasa (Allah Swt), tidak menjadi manusia kerdil, juga tidak ikut-ikutan arus zaman yang merusak keadaan. Itu cukup menjadi awal bagi kita mengobati keluh kesah keadaan. Selebihnya kita terus kabarkan narasi-narasi kebaikan untuk perubahan.[]