Hidup Bahagia Tanpa Validasi Orang Lain

Hidup Bahagia Tanpa Validasi Orang Lain
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis. Pendiri Brandstory.ID)

Bram (42), sebut saja begitu. Usia yang cukup matang. Karirnya sangat cemerlang. Capai level direktur pada sebuah perusahaan swasta. Rumah besar, mobil lebih dari satu, kehidupan mapan dengan istri dan anak-anaknya, liburan ke luar kota lebih dari sekali dalam sebulan. Tapi, dia selalu merasa, orang-orang, terutama kawan-kawannya tidak senang dengan dirinya. Acapkali posting soal kesuksesan, dianggap pamer (flexing), padahal maksudnya tak begitu. Fenomena apa ini?

Saya akan coba meminjam pemikiran  David Riesman dalam karya pentingnya, “The Lonely Crowd”, untuk sedikit memberi jalan terangnya.  Ia pernah menggambarkan bagaimana sebuah masyarakat di mana individu-individu, meskipun dikelilingi oleh orang lain, mengalami keterasingan, keterputusan bahkan keputusasaan yang mendalam. Fenomena ini tidak hanya terjadi di masyarakat Barat, tetapi juga beresonansi dalam konteks Indonesia, sebuah negara yang memiliki keragaman budaya, bahasa, dan identitas. Terutama, kini dalam lanskap masyarakat digital.

Tesis Riesman, masyarakat modern bergeser dari karakter ”diarahkan-tradisi” (tradition-directed) ke karakter ”diarahkan ke dalam” (inner-directed) dan akhirnya ke karakter ”diarahkan yang lain” (other-directed). Individu yang diarahkan oleh tradisi, berpegang teguh pada adat dan nilai yang sudah mapan. Individu yang diarahkan ke dalam, dipandu oleh seperangkat nilai pribadi yang terinternalisasi.

Sementara tahap terakhir, individu menjadi semakin bergantung pada validasi eksternal dan ekspektasi masyarakat, yang mengarah pada keterlibatan yang dangkal dengan komunitas masyarakatnya. Individu juga lebih rentan terhadap manipulasi dan kontrol oleh kekuatan sosial yang kuat, seperti media, iklan dan tentu saja media sosial.

Saya kira, kasus Bram itu masuk jebakan apa yang kerap orang sebut dengan “validasi”, semacam keadaan di mana kita merasa membutuhkan pengakuan atau pujian orang lain untuk merasa puas dengan diri sendiri. Saya kira pula, setiap orang secara manusiawi tidak bisa terlepas dari perkara “validasi” ini. Hanya, kalau “overdosis”, bisa berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang. Hidup yang selalu terobsesi “diarahkan yang lain” (other directed) menjadi problematis. Membuatnya tak bahagia.

Pada potret kehidupan lain.  Ada manusia yang fokus pada nilai, tradisi dan tentu saja agama. Tak selalu bisa membuat bahagia juga, kenapa? Kadang, nilai, tradisi bahkan agama yang diyakini, dalam praktiknya tak selalu bisa membawa solusi. Ada yang bilang agama itu solusi? Tak salah. Tapi, penganutnya punya tafsir tersendiri terhadap agama yang belum tentu benar menurut agama itu sendiri.

Di tengah kondisi demikian, filosofi Stoa ala Yunani kuno hadir kembali dan ternyata banyak digandrungi, terutama kawula muda. Banyak orang menyarankan kembali saja pada agama. Tapi, tak mendapat jawaban untuk kebahagiaan (dirinya). Saya kira, ini bukan perkara agamanya, tapi lebih kepada, tidak menemukan guru yang bisa “membumikan” ajaran agama ke level keseharian. Akhirnya, filsafat Stoisisme ini yang kemudian menjadi sandaran prinsip kebahagiaan.

Dalam filosofi ini, semua hal dalam hidup bersifat netral, tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Hal-hal yang menjadikan baik atau buruknya suatu hal adalah interpretasi kita terhadap hal tersebut. Mengikuti tesis Riesman, “ajaran” demikian, mencoba melihat ke dalam diri.  Hidup yang dalam istilahnya ”diarahkan ke dalam” (inner-directed). Saya kira, hidup demikian lebih membahagiakan daripada terus berusaha mendapatkan “validasi” atau pengakuan orang lain. Fokus pada diri, karya dan kebermanfaatan pada sesama, bukan yang lain. Sebuah jalan yang tak hanya perlu dipikirkan, tapi diamalkan dalam keseharian []

About the Author

Yons Achmad

Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these