Kafe Bagi Penulis
Oleh: Yons Achmad
(Penulis. Pendiri Brandstory.ID)
Bagi seorang penulis, kafe bukan sekadar tempat ngopi. Tapi, kafe adalah ruang pertaruhan intelektualitas sekaligus kreativitas bagi karya-karyanya. Ya, bagi seorang penulis yang serius, karyanya mesti bermutu. Secara intelektual, karyanya menghadirkan pencerahan bagi pembaca dengan kemewahan khazanah pengetahuan. Begitu juga dikemas dengan kreativitas gaya kepenulisan yang enak dibaca, mengalir, menawarkan harapan dan sesekali perlu menghibur.
Mencipta karya demikian sulit. Tapi, kabar baiknya, sulit itu kategori bisa. Artinya, dengan proses yang serius, tekun dan penuh kesabaran, karya demikian bisa dihasilkan. Dan, kafe menjadi salah satu ruang (tempat) di mana penulis menciptakan beragam karyanya. Baik berupa misalnya cerita pendek, puisi, novel, artikel, opini, berita, berita kisah (feature), oase kisah inspirasi maupun tulisan-tulisan berbau pemasaran (maketing) seperti naskah iklan (copywriting), naskah konten website, caption (takarir) media sosial bahkan sampai naskah skenario FTV, sinetron atau film. Juga, tulisan pesanan macam buku populer dan biografi.
Sebagai penulis, tentu saya mengapresiasi menjamurnya beragam kafe, kedai kopi (Coffee shop) di berbagai tempat. Terutama sekitar Jakarta Selatan dan Depok. Di kafe-kafe itulah saya, layaknya penulis lain, sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk, berpikir dan menarikan jari-jemari pada tombol keyboard laptop untuk selesainya karya-karya di atas. Kenapa kafe? Tentu pertimbangan tempat yang nyaman, bersih, dingin (ber-AC), internet kencang, tidak terlalu ramai atau berisik, lumayan tenang, tak banyak interupsi.
Di kafe, saya sering jumpai kata-kata “bijak”, misalnya “Hidup dimulai dari minum kopi”. Kadang ide iseng muncul. Gimana kalau tulisan diganti “Hidup Absurd ala Albert Camus itu menyenangkan ”. Tulisan “Filosofi Kopi” gimana kalau diganti “Masa Bodoh dengan Filsafat”. “Aku Berpikir Maka Aku Ada” diganti ”Aku Berkarya Maka Aku Ada.” Atau dimunculkan istilah “Kopi Al-Ghazali” dengan jargon “Berantas kesesatan filsafat sampai ke akar-akarnya.”
Kelebihan penulis begitu. Ia akan terus mencoba memandang sesuatu dengan cara yang berbeda. Ia juga kadang mengobarkan imajinasi di luar pikiran orang biasa. Misalnya, kamu seorang ustaz dan di dunia ini sudah tidak ada orang lain, kecuali “Ariel Tatum” dan “Oki Setiana Dewi”. Diberi kesempatan menikmati sekali malam pertama, setelah itu kiamat. Siapa yang bakal kamu nikahi? Jujur ya.
Sebagai penulis, saya sangat mengapresiasi keberadaan kafe-kafe itu. Doa sederhana semoga bisnis terus berjalan dan berkembang. Tidak tutup. Ia berkontribusi berikan tempat yang nyaman buat para penulis. Memang, penulis bisa dan harus bisa menulis di mana saja. Di rumah, stasiun, kamar hotel, ruang tunggu bandara. Tapi, kafe, kedai-kedai kopi itu tetap memberikan alternatif bagi kenyamanan seorang penulis.
Konon, Sebuah kafe di Tokyo, Jepang, bernama Manuscript Writing Cafe secara khusus berikan perhatian kepada para penulis. Kafe yang didirikan Takuya Kawai itu melayani para penulis yang tengah menghadapi tenggat waktu (deadline) dan mereka tidak dapat pergi sampai pekerjaan mereka selesai. Sebuah inovasi menarik. Pada akhirnya, benar memang sebuah ungkapan: Kiat bisa dan produktif menulis memang hanya, “Duduk, lakukan dan selesaikan,” salah satunya, di kafe yang nyaman itu. Begitulah penulis (dunia) bekerja []