Kacamata Seorang Penulis

Kacamata Seorang Penulis
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis. Pendiri Brandstory.ID)

“Pandanglah Sesuatu dengan Cara yang Berbeda”

Setidaknya, itu semacam doktrin penulis. Sebelum bekerja, sebelum menulis, dia harus punya cara pandang terlebih dahulu. Cara pandang yang unik, tak biasa, bahkan boleh dibilang belum terpikirkan sebelumnya. Itupun tak cukup. Tulisan yang ciamik kudu dikemas dalam gaya kepenulisan yang mengalir, mudah dipahami, tetap dalam, tapi tak ketinggalan sisi menghiburnya.

Di dalam buku “The Problems of Philosophy” (Perkara-Perkara Flsafat), misalnya Bertrand Russell, filsuf Inggris membedakan antara “penampakan” (appearance) dan “kenyataan” (reality). Antara apa yang tampak dan yang apa adanya. Untuk bisa membedakannya, dia mestilah terus menerus berlatih memandang dunia dengan cara yang berbeda. Dia tak puas sekadar menjadi “Normal Spectator” alias orang dengan indra penglihatan normal menyaksikan sesuatu atau peristiwa.

Perkara memandang realitas juga tak bisa terlalu menyederhanakan persoalan (simplisistis). Perlu nuansa elaboratif (membedah masalah secara rinci). Ini tak bisa dilakukan tanpa modal khazanah pengetahuan yang cukup. Mulai dari membaca beragam referensi, begitu juga bergaul dengan para ahli dibidangnya. Dia kemudian baru bisa menyampaikan sudut pandangnya secara argumentatif (mendedahkan alasan-alasan untuk meyakinkan pembaca).

Sementara, perkara realitas sendiri juga tak sederhana. Misalnya, dalam media atau media sosial. Apa yang sering kita sebut dengan realitas, sebenarnya adalah konstruksi realitas. Realitas dalam media adalah konstruksi dari realitas, yang tampak (ditampakkan) sebenarnya tentu bukan tampilan keseluruhan realitas, ia hanya “sepenggal kisah” realitas. Di media sosial juga sama, berbeda dengan media konvensional yang kental dengan prinsip-prinsip jurnalistiknya, media sosial begitu liar tampakkan “realitas” yang sering sangat subjektif, kejadian tak jelas kapan dan di mana, belum lagi tanpa konteks yang jelas pula. Hasilnya, ketika umpamanya kita melakukan penghakiman hanya semata-mata karena terpaan media atau media sosial, potensi keliru menjadi begitu besar.

Pemikir, Peter Berger, pengarang “Tafsir Sosial Atas Kenyataan” menyederhanakan fenomena ini dengan 3 bentuk realitas. Diantaranya, realitas obyektif (Fakta yang sebenarnya), realitas simbolik (hasil konstruksi realitas, misalnya seorang pekerja lewat beragam berita) dan realitas subyektif, tafsir individu atas beragam konstruksi media dan interpretasi atas peristiwa. Apakah dengan memahami konsep demikian kita benar-benar bisa memahami realitas? Tunggu dulu.

Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis mengenalkan istilah hiperrealitas. Sebuah keadaan di mana realitas yang ditampilkan misalnya lewat media atau media sosial tidak ada referensi atau kenyataan sama sekali dengan realitas yang sebenarnya (obyektif). Praktik flexing (pamer) di medsos misalnya, terkadang ia sebagai bentuk hiperrealitas karena tidak ada kenyataannya sama sekali dalam realitas yang sebenarnya. Itu sebabnya, menghasilkan apa yang disebut realitas palsu.

Dengan keadaan demikian, saya kira di era digital sekarang ini, membatasi terpaan realitas simbolik (medsos dll) menjadi penting. Untuk lebih banyak menyelami realitas obykektif (yang sebenarnya). Caranya, lebih banyak terjun ke masyarakat, bergaul secara langsung dan lebih banyak “ngopi-ngopi”. Tujuannya, agar tafsir subyektif kita atas realitas, pandangan kita terhadap realitas menjadi lebih jernih.

About the Author

Yons Achmad

Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these