PKS Tetap Woles

PKS Tetap Woles
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis. Pendiri Brandstory.ID)

PKS sepertinya tetap woles. Menyikapi “kekalahan” dalam pilkada Jakarta, Jawa Barat, Depok. Woles dalam arti slow, santai saja dalam menyikapi fakta politik demikian. Saya kira, ini bentuk kedewasaan politik partai ini sejak sekian lama eksis dikancah politik kontemporer Indonesia. Banyak badai dihadapi partai ini, mulai presidennya ditangkap KPK, para petinggi partai dan gerbongnya ke luar buat partai baru, Partai Gelora, sampai bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.

Partai ini tetap solid, tetap bisa menjaga stabilitas suara. Perkara presidennya ditangkap KPK dan ditinggalkan kader-kader terbaiknya dengan mendirikan Partai Gelora, banyak yang bilang dengan istilah “Bedol Desa”. Dengan tokoh semisal Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfud Siddiq dll out alias cabut, toh PKS tetap solid. Suara yang bakal tergerus habis menurut prediksi, ternyata tidak kejadian. PKS tetap mampu berdiri kokoh dengan suara yang signifikan. Lagi-lagi, saya sebut ini dengan kedewasaan (politik).

Kini, yang paling banyak disalahkan, terutama oleh para simpatisan PKS adalah batal mengusung Anies Baswedan sebagai calon Gubernur Jakarta, begitu juga memilih bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran yang dinilai menjadi bagian dari pemerintahan “oligarki”. Di media sosial misalnya, sangat begitu riuh kritik dan cacian pada PKS yang dinilai telah meninggalkan umat, benarkah demikian?

Bagi mereka yang memahami sejarah pergerakan Islam, PKS tentu saja tak bisa dinilai sebagai partai biasa. Anak-anak muda PKS itu memainkan peran dengan apa yang disebut dengan varian baru bernama “Politik Dakwah” (Missionary politics). Sebuah dakwah yang kini tak lagi sebatas level kemasyarakatan, tapi sudah masuk dalam level negara. Tentu, goncangan-goncangan politik di level ini lebih kencang, apalagi ketika berhadapan dengan penguasa “tangan besi” yang tak segan-segan “menghabisi”. HTI dan FPI korban nyatanya. Bergabungnya PKS ke pemerintahan Prabowo-Gibran, boleh dinilai sebagai strategi kemaslahatan. Menjaga ruang aman. Setuju atau tidak, memang persoalan lain.

Maka, membaca fenomena terbaru di atas, bisa kita baca melalui 3 hal: kontestasi, evaluasi dan konsolidasi. Dalam soal kontestasi, telah berakhir, PKS dengan calon-calonnya pada pilkada banyak yang menang, banyak juga yang kalah. Tapi, khusus Jakarta, Jawa Barat atau khususnya Depok, memang menjadi “pukulan telak”, tapi tentu tak bisa mundur ke belakang. Banyak warganet (Netizen) “nyuruh-nyuruh” muhasabah, evaluasi, saya kira tanpa dimintapun PKS sudah melakukannya. Terakhir, menjadi hal penting adalah konsolidasi. Lewat konsolidasi (kader) ini, saya kira “Pimpinan” dan “Pasukan” semakin menguatkan”.

Sampai detik ini, saya kira, bergabungnya PKS ke pemerintahan Prabowo-Gibran, ajukan RK-Suswono di pilkada Jakarta memang masih sulit diterima oleh para simpatisan PKS. Tapi, saya menilai, untuk memilih PDIP alias Pramono-Bang Doel di pilkada Jakarta tempo hari tentu teramat berat. Ini yang mungkin bisa menjelaskan kenapa banyak yang golput pada pilkada Jakarta. Tingkat partisipasi terendah sepanjang sejarah, hanya 50-60%. Data KPU, yang memilih hanya 4,3 juta suara sementara jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8,2 juta. Artinya, partisipasi pemilih ada di angka 53,05 % saja.

Kini, saya rasa strategi yang pas dilakukan adalah “Merangkul” bukan “Memukul” dalam arti merangkul kembali para pendukung atau simpatisan PKS yang kecewa, bukan menyerang balik para pengkritik. Kenapa? Karena PKS saya kira masih menjadi harapan di tengah partai “Islam” yang ada. Mungkin ada yang lain misalnya Partai Ummat, tapi performa belum meyakinkan. Lewat strategi “merangkul” ini, saya prediksi, partai ini akan kembali berjaya pada pemilu berikutnya. []

About the Author

Yons Achmad

Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these