Slow Living di Magelang

Slow Living di Magelang
Oleh: Yons Achmad
(Penulis. Pendiri Brandstory.ID)

Namanya Ismail, tak muda lagi, usia pensiunan (65-an). Ia, kini hidup, yang oleh anak sekarang disebut dengan istilah “Slow Living”, pada sebuah pedesaan di Lereng Gunung Merbabu, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah. Sejak istri pertamanya meninggal, dia galau betul, lalu memutuskan menikah lagi, sayang kurang cocok, bercerai. Lalu menikah untuk ketiga kalinya. Kini, dengan istri ketiga ini, menikmati hidup gaya “Slow Living” yang bisa dipastikan ia tak bakal mengerti istilah itu, tapi secara tak sadar sudah dijalaninya.

Istilah “Slow Living” ini, merujuk Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menekankan ritme hidup santai, fleksibilitas, dan fokus pada kualitas hidup, sekaligus menghargai momen sederhana dalam keseharian. Gerakan “slow living” muncul sebagai respons terhadap gaya hidup cepat yang sering hanya mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas. Filosofi ini mendorong individu untuk meninjau ulang prioritas hidup, memisahkan apa yang benar-benar penting dari tuntutan teknologi dan pola hidup konsumeris.

Filsuf Norwegia, Guttorm Floistad menggambarkan bagaimana kebutuhan dasar manusia, seperti perhatian dan penghargaan, tetap abadi meskipun dunia berubah dengan cepat. Buku Carl Honore, “In Praise of Slowness”, menegaskan pentingnya manusia merencanakan hidup dan kerja dengan bijak, mengutamakan keseimbangan dan makna.

Gaya hidup melambat ini  tidak berarti malas, tetapi memilih untuk bekerja lebih bermakna dan fokus pada kesehatan serta hubungan manusiawi. Di sini, ditekankan bagaimana pentingnya melihat teknologi sebagai alat pendukung, bukan penentu. Pendekatan ini membantu mengurangi tekanan sosial seperti fear of missing out (FOMO) dan mengarahkan individu serta komunitas pada kebahagiaan sejati melalui kesederhanaan dan refleksi.

Dan Magelang, menjadi daerah alternatif untuk “Slow Living”, bahkan menjadi daerah paling ideal untuk menjalani hidup semacam ini. Pertanyaannya, mau ngapain di Magelang? Sedikit gambaran, Magelang Kota cocok untuk aktivitas semacam perdagangan dan jasa. Sementara, Magelang Kabupaten beragam. Wisata dan kulineran, daerah Borobudur, beragam pabrik ada di sekitar Salaman, berkebun sekaligus wisata alam, bisa di Kopeng, daeran pesantren ada di Tegalrejo dan sekitar Payaman, pertanian bisa di Sawangan arah Gunung Merapi dan Merbabu. Ini sebagai contoh saja.

Seperti dilakukan sosok yang saya ceritakan di atas. Ia memelihara sekian ekor kambing, ayam, bebek. Punya sekira 5 bidang tanah yang ditanam beragam tanaman (padi, sayur, buah), juga beberapa kolam ikan dikelolanya. Aktivitas bertani, berkebun, beternak itu saban hari dilakukan sambil menunggu shalat saja. Tiap azan berkumandang, selalu hadir ke masjid sederhana di kampungnya.

Selebihnya, sebagai aktivis Muhammadiyah, ikut kajian rutin Mingguan. Ditambah aktivitas membersamai istrinya yang agak beda “server”. Aktivis Muslimat NU, organisasi perempuan (ibu-ibu) di ormas terbesar Indonesia itu. Apakah mengandalkan hidup begitu cukup? “Kalau hemat, hidup akan selalu cukup,” kata almarhumah istri pertamanya suatu ketika. Tak lain tak bukan, ibu kandung saya.

Ayah saya, sekarang hidup sederhana dan bahagia di kampung, Magelang. Untuk makanan sehari-hari diambil dari alam, pemberian Allah Swt. Memang, biaya hidup paling banyak menurutnya adalah untuk “kondangan” pernikahan, juga sunatan. Tapi, menurutnya, itu semacam konsekuensi hidup bermasyarakat.

Satu hal yang pasti, fokus “Slow Living” memang makna. Terutama untuk dirinya sendiri. Tapi, tentu tak lepas dari bagaimana juga bisa memberikan makna pada masyarakat sekitar. Jadi, “Slow Living” bukan sekadar pelarian dari stres hidup di kota. Merasa punya uang. Terus berlagak hidup ngeslow, bikin rumah mewah di tengah persawahan pedesaan. Bukan semacam itu, sebab hanya melayani ego saja, terpisah dari kehidupan masyarakat. Belum lagi, bangunan bisa merusak aliran sungai, air yang justru merugikan warga sekitar.

Mungkin, bisa semacam ini. Mendirikan Pondok Pesantren, atau semacam Rumah Quran. Tak perlu banyak dulu santrinya, bisa dimulai dari 10 santri saja. Dari mana biasa operasionalnya? Untuk mencukupi kebutuhan guru dan santri, misalnya dengan wakaf produktif, semacam unit usaha bisa dari pertanian, perikanan, peternakan atau usaha jasa dan lainya. Dengan begitu makna bukan sekadar untuk diri, tapi juga bisa bermakna bagi masyarakat sekitar.

Sekarang, kenapa Magelang jadi pilihan? Ya karena memang enak. Udara sejuk (dingin), polusi udara minim, harga-harga murah, masyarakatnya kental dengan kebudayaan dan tradisi, orangnya ramah-ramah dan yang pasti nggak ada  alias bebas dari “Sound Horeg” berisik atau pertunjukan “Dangdut Koplo”. Terus nggak enaknya apa? Tidak ada. Enak semua. Ahai. []

About the Author

Yons Achmad

Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these