Kabur Aja Dulu, Tamparan Citra Pemerintah
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Branding. Founder Brandstory.ID)
Tagar #Kaburajadulu menggema di Twitter. Sebuah ekspresi kekecewaan anak-anak muda Indonesia. Tak hanya kecewa dengan kondisi politik negeri ini. Tetapi juga ekspresi kekecewaan atas situasi ekonomi yang suram dan tak menentu. Serta, peluang kerja yang semakin sempit dan tidak menjanjikan.
Mereka sampai pada titik keputusan plus keputusasaan. Masa depan di Indonesia suram. Pesan tagar #kaburajadulu saya kira bentuk nyata perlawanan anak-anak muda “kontemporer”. Sementara, dalam tafsir di balik arus komunikasi, adalah tamparan untuk pemerintah atas performa dan citra buruk mereka dikalangan generasi muda (khususnya Gen-Z).
Sebuah pertanyan yang menarik diajukan, apakah ini bentuk pembangkangan sipil? Kita lihat.
Pembangkangan sipil (civil disobedience) disebut juga sebagai passive resistance atau perlawanan pasif, sering diartikan sebagai sebuah bentuk penolakan untuk patuh terhadap tuntutan pemerintah atau kekuasaan, tanpa menggunakan kekerasan atau tindakan aktif sebagaimana kaum oposisi.
Dalam sejarahnya, istilah ini sendiri pertama kali digunakan oleh penulis dan filsuf Amerika, Henry David Thoreau, dalam esai yang ia tulis jauh di tahun 1848, untuk menjelaskan penolakannya terhadap pajak yang dikenakan pemerintah Amerika untuk membiayai perang mereka di Meksiko.
Kalau mau jujur, dalam perkara pajak saja sebenarnya masyarakat sudah “muak”. Menjadikan masyarakat (terutama pengusaha), sebenarnya tidak pernah benar-benar percaya pajak digunakan dengan benar. Saya kira, 99% pengusaha tidak taat pajak. Ngawur, datanya dari mana? Mungkin ada yang bilang begitu. Tak masalah. Hanya saja, bagi yang menyanggah, apa kabar dengan laporan keuangan ganda? Tapi, ini mungkin agak berbeda dari kasus di atas.
Hanya saja, kalau lebih fleksibel bahwa pembangkangan sipil kita artikan sebagai upaya sadar menolak anjuran penguasa. Misalnya anjuran pulang bagi para ilmuwan di luar negeri untuk kembali bekerja dan bangun Indonesia, rasa-rasanya penolakan demi penolakan ada (walau diam-diam).
Kini, para Gen-Z yang cenderung “blak-blakan”. Atau sering disebut dengan menggunakan komunikasi yang lebih “asertif”, bentuk pernyataan yang jelas, lugas tanpa kalimat-kalimat bersayap. Saking mungkin “muaknya”. Pengakuan mereka terekam. Salah satunya lewat berita dengan judul “’Saya tidak mau mati sebagai orang Indonesia”-Cerita tiga anak muda Indonesia yang tinggal dan bekerja di Korsel, AS dan Thailand (BBC, 12/2/2025). Saya membaca dan merenungi berita semacam itu.
Saya berkesimpulan bahkan saya yakin, mereka tak senaif itu. Saya menilai, pernyataan itu hanya ungkapan kekesalan spontan saja, (saya harap begitu). Saya percaya, anak-anak muda ini. Termasuk kita di dalamnya, sangat mencintai bangsa ini, sangat mencintai negeri ini. Hanya saja, performa pemerintahannya memang sering keterlaluan.
Untuk ini saya kira, agak berbeda dari judul kolom ini, bukan tamparan citra pemerintah, tapi lebih tepatnya tamparan untuk pemerintah. Agar tak memperburuk keadaan, saya kira tak bisa memaksakan untuk memoles kekuasaan dengan branding atau strategi komunikasi yang aduhai dan ciamik, dengan melibatkan influencer, Key Opinion Leader (KOL), maupun storytelling via media (mainstream) dan media sosial (medsos). Akan jadi bumerang, cepat atau lambat.
Satu hal yang bisa menyelamatkan bukan polesan citra branding. Tapi, ubah atau lahirkan beragam kebijakan yang berpihak pada masyarakat banyak. Bukan kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok elit di lingkaran oligarki. Mau tidak mau harus begitu. Kalau tidak bagaimana? Jelas, pembangkangan sipil bakal terus membesar dan menyala. Sewaktu-waktu bisa meledak. Itu pesan “Early Warning System” saya. []