Becoming A Person of Depth

Becoming A Person of Depth
Oleh: Yons Achmad
(Praktisi Branding. Pendiri Brandstory.ID)

Untuk bisa menjadi menonjol dalam kerumunan (stand out from the crowd), kita harus bisa terlihat tampak berbeda dengan orang lain. Begitulah salah satu Ilmu Branding mengajarkan. Salah satu jalannya, menjadi beda dengan kedalaman (berpikir). Terlihat mudah dan sederhana. Tapi, untuk bisa menjadi manusia semacam itu butuh proses (panjang).

Era digital sekarang, ada istilah ”easy come, easy go”. Seseorang yang bisa menyerap begitu banyak informasi dalam waktu yang singkat, tapi dengan mudah pergi begitu saja. Informasi itu sebatas diketahui dan lewat begitu saja.  Tanpa ada refleksi, tanpa ada perenungan. Singkatnya, tanpa adanya “kedalaman”. Ia akan lewat begitu saja, tidak membekas. Tidak berpengaruh pada produktivitas, karya-karya yang dihasilkan, bahkan tidak berpengaruh untuk kualitas hidup kita menjadi lebih baik.

Mungkin, hal itu tampak wajar-wajar saja di era digital ini. Memang begitu kan, era digital menuntut kecepatan?  Tidak selalu begitu. Justru sedikit usaha untuk merefleksikan informasi, menjadi penting agar terhindar dari kedangkalan (berpikir) semacam itu.

Sekaligus, untuk menghindari dari apa yang dalam istilah psikologi (digital) dikenal sebagai “brain rot”. yaitu kelelahan mental akibat konsumsi informasi instan yang dangkal. Menurut penelitian dari Pew Research Center (2021), sebesar 64 persen pengguna media sosial merasa lelah dengan banyaknya informasi yang berseliweran di internet, terutama yang bersifat kontroversial atau provokatif.

Saya jadi ingat, suatu ketika pernah mendapat hadiah sebuah buku dari seorang kawan. Judulnya, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010), karya Nicholas Carr.  Buku ini mewanti-wanti bagaimana internet, terutama media sosial, bisa mengubah cara kita berpikir. Paparan informasi cepat dan dangkal membuat otak kita kehilangan kemampuan untuk berpikir secara mendalam. Saya kira, wanti-wanti penulis buku itu perlu mendapat perhatian.

Kenapa? Sepertinya, betul juga dalam berbagai kasus. Di mana, kita menjadi lebih mudah teralihkan, sulit berkonsentrasi, dan kehilangan ketajaman analisis. Dengan kata lain, kita mungkin mengetahui banyak hal, tetapi kehilangan kemampuan untuk memahami sesuatu secara utuh. Apakah hal ini ternyata menghinggapi kita? Sadar atau tidak sadar itulah fakta yang dialami banyak orang.

Untuk menjadi beda, tentu banyak cara, salah satunya dengan membaca. Ya, membaca dengan perlahan tapi penuh kedalaman. Semuanya ini untuk menghasilkan semacam autentisitas. Yang menjadikan kita berbeda dengan yang lain. Dalam personal branding, sebuah kecenderungan yang sering dilakukan, orang berusaha untuk ikut trend, yang sedang viral secara terus menerus. Memang, untuk beberapa kasus bisa menaikkan “Citra” dengan misalnya bisa menambah banyak follower dll. Hanya saja, terlalu sibuk “menunggangi”  hal-hal yang viral secara terus menerus, bisa hilangkan identitas mereka sendiri.

Nah, kini jelaslah sudah.  Pilihan terbuka. Mau terus ikut arus atau menjadi beda dengan orang lain. Sebuah kedalaman (berpikir) yang melahirkan kedalaman pandangan. Sebagai hasil dari proses membaca, mendengar dan menonton dengan refleksi penuh kesadaran. Yakin, dengan modal ini, peluang untuk kita menonjol dari kerumunan menjadi mungkin. []

About the Author

Yons Achmad

Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these