Never Too Late To Start A Personal Brand

Apa ada kata terlambat untuk personal branding? Jawabnya adalah tidak.  Tak peduli umur berapapun, tetap bisa terus dijalankan. Bahkan, ketika reputasi (kesan atau pendapat umum tentang seseorang atau sesuatu) dalam keadaan yang tidak baik-baik saja sekalipun. Berhenti?  Tidak. Terus menyapa publik sepanjang kita bisa. Hasilnya, tak mengecewakan. Nanti akan saya beri contoh beberapa sosok diantaranya.

Tapi, saya tidak punya kamera bagus? Saya tidak punya perangkat pendukung misalnya Clip on, lampu pendukung, tripod dll. Tenang, mulai saja dengan yang ada. Sepanjang kontennya baik-baik saja. Tak membuat orang lain marah, tapi justru memberikan pengetahuan baru, perspektif baru, itu sudah cukup untuk modal memulainya. Selebihnya, pelan-pelan kualitas konten dan tetek bengek teknis lainnya diperbaiki.

Sebagai contoh,  Abdullah Gymnastiar, atau yang akrab disapa AA Gym. Mungkin, nama ini tak asing. Namanya begitu berkibar dengan pengajian “Manajemen Qolbu” nya. Berawal dari situ, beragam bisnis mengikutinya, mulai dari radio, penerbitan, pelatihan sampai televisi MQ TV hadir. Sempat berjaya, sampai suatu ketika, sang tokoh poligami.

Tak salah. Tapi, membuat “jamaah” tiba-tiba turun drastis. Bisnis yang menyertainya banyak yang tutup. Menyerah? Tidak. Sosok ini memang pernah rehat sejenak dari hingar bingar media dan media sosial (medsos). Tapi, tak lama. Pelan-pelan menyapa kembali “jamaah”. Sekarang, sepertinya kepercayaan “jamaah” (Publik) telah kembali. Seperti biasa, publik kita, mudah melupakan, mudah memaafkan. Dan sosok itu kembali diterima. Usianya, dalam proses membangun kembali reputasi dalam kerja-kerja personal branding itu tak lagi muda.

Ada lagi, seorang pensiunan dokter. Umur sudah 70 tahun. Setelah pensiuan mau ngapain? Itu pertanyaan sewaktu masih aktivif bekerja. Ia, kemudian, mengambil langkah paling cepat dalam personal branding. Apa itu? Menulis buku. Judulnya “Menjadi Karyawan Ihsan”.  Sebuah buku pengalamannya memimpin sebuah Rumah Sakit (RS). Sebuah buku panduan bagaimana karyawan punya mindset (pola pikir) dan bisa mempraktikkan “Ihsan” dalam pekerjaan. Sehingga, mereka bisa terus bekerja, berkiprah dengan versi terbaiknya.

Layaknya sebuah buku, ia adalah instrumen paling bagus untuk bangun personal branding. Dengan buku, orang menjadi punya otoritas terhadap tema atau isu yang disampaikan. Masalahnya, bagaimana ketika tidak bisa atau kesulitan menulis buku? Kebetulan, sang dokter memercayakan saya untuk menulis bukunya. Hanya, semua ide dari beliau. Dengan buku itu, Sang Dokter kemudian pelan-pelan menjadi pembicara publik. Di lingkungan pekerjaanya, begitu juga merambah ke rumah sakit-rumah sakit lain. Ya, personal branding. Lewat buku,  kemudian jadi pembicara publik di bidangnya.

Contoh di atas,  saya bilang, sosok tak muda lagi. Bagaimana bagi mereka yang muda-muda? Lebih muda dari sosok yang saya ceritakan di atas? Tentu peluang untuk serius melakukan personal branding lebih terbuka lebar. Hanya, satu hal yang perlu dicermati. Berhentilah berpikir berlebihan atas kekurangan. Mulai saja eksekusi. Proses-proses yang dijalankan, kelak akan menjadi kenangan yang menyenangkan.

Salam

Yons Achmad
Praktisi Branding
CEO Brandstory.ID

About the Author

Yons Achmad

Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these