Media sosial punya sisi gelap bagi pegiatnya. Salah satunya, manusia medsos kini menjadi semakin jauh dari autentisitas. Ia, hidup dalam bayang-bayang penilaian orang lain. Bahkan, kebanyakan juga, disadari atau tidak, hidup dalam istilah Filsuf eksistensialis, Jean-Paul Sartre sebagai “mauvaise foi” (sikap tidak autentik) yaitu berbohong kepada diri sendiri atau menipu diri sendiri.
“Mauvaise foi” dapat terjadi pada orang yang menempelkan dirinya pada suatu hal yang lebih besar darinya, sehingga ia melupakan kesadarannya sendiri. Contohnya, setuju atau tidak misalnya, manusia medsos sekarang merasa cemas dan khawatir akan penilaian orang lain dan membuatnya tidak bebas untuk menjadi diri sendiri.
Contoh paling sederhana dan banyak dilihat ialah penggunaan filter untuk foto dan video untuk sekadar tampil di media sosial (umpamanya Tiktok). Banyak juga yang berbohong lewat flexing (pamer) kekayaan yang faktanya sangat jauh dari yang ditampilkan. Singkat kata, membuat orang-orang semakin kehilangan jati dirinya dan begitu sulit dan kesusahan menjadi dirinya yang autentik.
Bagaimana sebenarnya kondisi mereka yang tidak autentik? Perasaan semacam apa yang menghinggapinya. Saya akan ambil contoh seorang kawan yang sudah “Tobat” dari personal branding yang keliru. Tidak autentik.
Alkisah, dirinya ikut MLM, sukses, bisa banyak merekrut anggota (member). Begitu juga, bisa menjual banyak produk yang ditawarkan. Untuk meyakinkan, pihak perusahaan memberikan “bonus” motor bahkan sampai bisa punya mobil Pajero. Tentu, banyak orang yang tertarik masuk ke bisnis MLM itu.
Padahal kenyataannya? Saya tidak sedang mengghibah (ngomongin orang di belakang). Justru, ini datang dari pengakuannya sendiri di media sosial. Memang benar punya mobil Pajero. Tapi, menurut pengakuannya, pendapatan bulanannya tidak sampai Rp.10 juta dari bisnis itu. Padahal menurutnya, operasional mobil Pajero lumayan besar menurutnya. Sampai, sebenarnya kondisinya, “Buat beli beras aja susah,” tuturnya.
Lantas, dirinya “Tobat”. Ke luar dari bisnis MLM itu. Berusaha kembali menjadi pribadi yang autentik. Apa adanya, tak lagi tergoda untuk “Flexing”. Walaupun sebenarnya niat pamer Pajero bukan murni “Flexing” tapi sekadar bisa meyakinkan orang saja. Kini, dirinya merasa lebih nyaman hidup apa adanya, lepas dari “Pencitraan” semacam itu. Kini, mengelola sekolah bisnis untuk pemula dan travel haji umrah.
Ada juga, selebgram yang terkenal, followernya jutaan di medsos. Tapi, terkenal, belum tentu penghasilannya juga melimpah. Ia, konon karena merasa terkenal, merasa gengsi misalnya makan di warteg atau warung padang paketan. Minimal, kafe atau resto. Hasilnya, hanya menyiksa diri sendiri. Padahal, sosok misalnya orang terkaya di Indonesia, Bambang Hartono pemilik Djarum dan Bank BCA enak dan santai saja makan di warung biasa.
Begitulah, authentic personal branding sebenarnya mengajak pribadi untuk menampilkan sesuatu yang asli dalam dirinya. Tentu yang paling mengerti adalah dirinya sendiri. Satu hal yang pasti, realitas seseorang, itulah yang seharusnya ditampilkan. Kalau terus menerus tampilkan citra yang tak sesuai realitas, bukan hanya orang tidak percaya. Dirinya sendiri, bahkan bakal tersiksa.
Salam
Yons Achmad
Praktisi Branding
CEO Brandstory.id