3 Reasons for Authenticity

Deddy Rahman dalam buku “Branding for Public Leaders” pernah bahas soal ‘”Archetype Personality” yang pernah dikembangkan seorang psikiater asal Swiss, Carl Jung. Sebuah konsep yang bisa melihat dan menganalisis kharakter yang cocok bagi mereka yang ingin menjadi sesuatu, khususnya pemimpin.

Kita bisa melihat sosok Prabowo misalnya sebagai “The Ruler” (Penguasa), gaya pemimpin yang cenderung otoriter, mengontrol, pengatur.  Sebagai “The Caregiver” (pengasuh), cenderung mengayomi seperti Anies Baswedan.  Sebagai “The Creator” (Pencipta), dengan gaya inovatif seperti Ridwan Kamil. Sebagai “The Rebel” alias pemberontak, dengan sering melawan status quo semacam Susi Puji Astuti, Fahri Hamzah atau Adian Napitulu. Sebagai “The Sage” (Sang Bijak) model Hidayat Nurwahid. Sebagai “The Jester” (Sang Penghibur) semacam Cak Imin, Basuki Hadimulyono dst.

“Personal Branding” semacam itu cenderung lahir karena memang bawaan, kharakter bawaan. Jadi, dalam kehidupan keseharian, mereka akan condong  tampil semacam itu. Dalam “personal branding”, banyak yang menyarankan pokoknya cobalah menjadi “Authentic”.

Saya, tentu setuju-setuju aja, kenapa? Setidaknya karena beberapa alasan berikut:

Pertama, Differentiates You. Benar, keaslian tentu akan bisa dengan jelas membedakan kita dengan orang-orang di sekeliling kita. Membedakan kita dengan orang-orang yang mungkin juga berprofesi sama. Contoh para politikus di atas. Profesinya sama (politikus) tapi dikenal dengan ciri khasnya masing-masing.  Dalam dunia karir, industri, bisnis, saya kira juga sama. Keaslian akan menjadikan siapapun bisa menonjol dengan kekhasan masing-masing.

Kedua, Builds Trust.  Keaslian tentu, selain menjadikan seseorang punya kepercayaan diri. Dia juga punya peluang membangun kepercayaan publik. Dalam dunia karir, bisnis maupun industri secara luas, kepercayaan adalah segalanya. Kalau orang sudah percaya kita, maka segalanya menjadi mudah (prosesnya). Tanpa nego-nego yang berbelit. Beragam masalah  yang datang juga cenderung bisa diselesaikan dari hati ke hati. Hasilnya, kepercayaan, menjadikan masing-masing diuntungkan.

Ketiga, Increases Engagement. Keaslian tentu bukan kepura-puraan. Apa yang dibicarakan, diomongkan, ditampilkan (khususnya di sosial media), semuanya selaras dengan kehidupan keseharian. Tidak beda, ya memang begitulah aslinya. Dengan demikian, menjadikan peluang-peluang kolaborasi yang saling menguntungkan menjadi terbuka lebar. Menjadikan interaksi antara diri dan audience menjadi semakin cair, tidak kaku. Singkatnya menjadi akrab. Hasilnya, kadang kolaborasi tak hanya dalam urusan karir atau bisnis semata. Bisa jadi, kelak bahkan menjadikan hubungan misalnya antara “diri” dan ‘Klien” yang awalnya sebatas urusan pekerjaan, menjadi lebih kekeluargaan. Tentu, sebuah capaian yang menarik kalau bisa sampai menjadi seperti ini.

Beberapa alasan di atas, setidaknya menjadi penyemangat untuk kembali melongok ke dalam diri kita. Kita lebih cocok menjadi seperti apa? Semuanya, tergantung dari kharakter bawaan yang bakal mengantarkan “Personal branding” lebih mudah dan meyakinkan publik. Hasil akhirnya, sebuah kerjasama (kolaborasi) yang apik dan ciamik semakin mungkin untuk terjalin. Harapannya begitu gaesss. []

Salam

Yons achmad
Praktisi Branding
CEO Brandstory.ID

About the Author

Yons Achmad

Yons Achmad
Penulis | Pembicara | Pencerita
(Storyteller. Founder Brandstory.id)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like these