Selamat datang kaum pendatang, jadi kaum urban. Selamat datang untuk “Berjoeang” di Jakarta. Seperti biasa, pasca lebaran, talenta-talenta dari daerah berdatangan ke Jakarta. Bekerja, mengadu nasib untuk kehidupan yang lebih baik. Saya tentu saja senang, talenta-talenta segar itu, menjadi semacam energi baru untuk bisa kita kolaborasikan dengan beragam bisnis yang sedang kita jalankan.
Banyak yang datang ke Jakarta, karena memang sudah diterima kerja. Sudah melalui proses wawancara dan rekruitmen sebelumnya. Sementara, saya yakin, banyak pula yang nekat. Modal ijazah saja datang ke Jakarta, bahkan tak modal ijazah, hanya mengandalkan keahlian (skill) saja. Saya dulu termasuk yang nekat begitu. Hasilnya, sekian bulan baru dapat pekerjaan. Ungkapan bijak mengatakan “Hanya orang yang pernah merasakan, dia yang tak bakal pernah mengabaikan orang begitu saja.”
Karena saya juga mengalami, maka, ketika ada kawan yang saudaranya, atau adik-adiknya sedang membutuhkan pekerjaan pasca lebaran ini, maka saya coba tidak abaikan begitu saja. Kita coba perdalam, ngobrol seputar kolaborasi, kira-kira apakah pekerjaan yang ada memungkinkan. Atau, sementara, terlibat kerjasama dalam sebuah tim yang sifatnya per project dahulu.
Intinya, saya mencoba tidak akan mengabaikan orang begitu saja.
Dibanding dulu, persaingan dalam urusan pekerjaan dan bisnis memang rasa-rasanya begitu ketat saja sekarang ini. Dulu, saya merasa mudah saja bisa bekerja dari kantor satu ke kantor lain. Bahkan, saya beberapa kali pindah kantor dengan santainya, pindah pekerjaan, enak-enak saja. Rata-rata, saya mengundurkan diri secara baik-baik. Dan terakhir bekerja kantoran, targetnya jelas, tidak mau bekerja lagi pada orang atau perusahaan orang. Ingin membuka bisnis sendiri.
Maka, kita bikinlah macam-macam usaha. Kabar kurang enaknya, semuanya gagal. Tepatnya, belum berhasil. Memang, untuk bisa sampai pada corak bisnis yang tepat tidak gampang. Akhirnya, saya sampai pada sebuah titik yang berangkat dari “Passion”. Bekerja dalam sebuah tim, bukan sekadar karena memang disukainya. Tapi, kami merasa pekerjaan itu berdampak bagi orang banyak. Ini yang kemudian menjadikan kami bertahan. Dalam setiap gempuran, tantangan dan masalah.
Kabar baiknya, perusahaan jasa yang kita kelola alhamdulilah masih bisa berjalan dan terus tumbuh. Tahun-tahun kemarin, agak stagnan. Tapi kemudian, kami sudah menemukan solusinya. Salah satunya karena kami tidak upgrade “Skillset”. Ternyata, “Mindset” dan “Toolset” saja tak cukup,. Maka ragam kompetensi dan level kompetensi mau tak mau harus ditingkatkan. Caranya? Ya tidak lain belajar lagi, kursus-kursus lagi. Sertifikasi beragam skill BNSP salah satunya.
Untuk menggairahkan hidup, saya dan tim kini punya semacam “Julukan” tapi dikemas dalam “Value” yang baru. Sebut saja “a Fighter” alias “Pejuang”, “Petarung”. Selaras dengan pengertian dalam konteks pengembangan diri, “a fighter” (atau “fighter mentality”) berarti memiliki semangat juang, tekad, dan keberanian untuk terus maju dan mengatasi tantangan, bukan hanya dalam satu aspek, melainkan dalam berbagai area kehidupan. Kebaruannya apa? Tak penting kami ceritakan.
Satu hal yang pasti. Pasca lebaran, kita awali suasana ini dengan vibes (atmosfer) yang positif. Setidaknya, ini langkah pertama yang sadar kami ambil. Selanjutnya, biar waktu yang menabuh keberhasilan “Dendang Joeang” tim “Pejuang sekaligus “Petarung” ini. Rasa-rasanya, kita semua begitu. Yes, You Are a Fighter, bukan “Omon-Omon” gaesss. “Show, Don’t Tell,” []
Salam
Yons Achmad
Kolumnis & Praktisi Branding
CEO Brandstory.id