Kolom
Home » Article & News » Opinions Are Easy, Insights Aren’t

Opinions Are Easy, Insights Aren’t

Saya pernah mendengar sebuah ujaran, kira-kira boleh dikatakan semacam pepatah.

“Bodoh memang hak. Tapi jangan gunakan secara berlebihan”.

“Orang bodoh selalu punya segala jawaban”.

Ketika seseorang merasa pintar (padahal tidak), hanya karena sedang ditampuk kekuasaan, kadang berlebihan mempertontonkan kebodohan. Maksimal pakai jatah haknya. Kabar buruknya, banyak orang yang tak berani meluruskan, hanya karena misalnya dia sedang punya jabatan, hanya karena misalnya sedang punya kuasa. Hasilnya adalah sebuah kekonyolan di panggung kehidupan yang terus dipertontonkan. Terus menerus.

Atau, sebut saja orang biasa. Misalnya punya pengikut banyak di media sosial. Tak peduli karena memang benar-benar banyak secara organik atau membeli follower. Biar terlihat eksis, setiap isu dikomentari, setiap ada perkembangan terbaru selalu bersuara, apapun itu. Dirinya merasa selalu punya jawaban. Biasanya, tak beda dengan di awal, seringkali banyak sekali kekonyolan pandangan. Sayangnya, tanpa disadari.

Tak usah memandang orang lain. Kali ini, saya berefleksi, jangan-jangan saya juga begitu?

Sebuah perenungan yang menarik. Memang,  padatnya informasi yang kita dapatkan, seringkali menjebak kita untuk selalu “Reply”. Selalu berkomentar, padahal semua tak harus disikapi begitu. Dan, komentar yang paling gampang memang menghakimi. Siapapun bisa, tak peduli orang pintar bahkan bodoh sekaligus. Menghakimi orang, memang  perkara mudah. Setiap orang bisa.

Ada yang bilang, kenapa melarang-larang orang beropini? Ini eranya kebebasan, siapapun bebas kasih pandangan? Betul. Tapi, apakah selalu begitu?  Eh, saya justru kembali merenung. Bukankah saya juga rutin menulis misalnya kolom-kolom dan peristiwa-peristiwa yang sedang hangat jadi pembicaraan?

Iya juga, saya toh setiap menulis kolom selalu beropini, memberikan pandangan-pandangan tertentu. Ya, Allah, bukankah hal demikian, tak ubahnya semacam “Pepatah” yang saya hadirkan di awal? Tapi, kalau tidak menulis, tidak hadir, bagaimana kita bisa tampilkan “Personal Branding”, versi terbaik kita?

Hingga saya menyadari, beropini tak susah, mudah saja. Setiap orang bisa. Tapi, ternyata, kalau kita ingin lebih punya kontribusi memberikan pencerahan, memberikan wawasan (insight) yang melahirkan pemahaman terhadap segala sesuatu (termasuk peristiwa) dengan detail dan jelas, tentu tak mudah. Banyak effort yang perlu dilakukan. Termasuk perlu ilmu tertentu di dalamnya.

Singkat cerita, saya sampai pada sebuah “Kesimpulan”.

Daripada terus beropini secara subjektif (walau itu sah-sah saja), bagaimana kalau kita geser sedikit, berbagi perspektif? Ya, setiap hari kita rajin berbagi perspektif. Tidak hanya berkomentar, beropini secara subjektif setiap hari, tapi berbagi perspektif, berbagi wawasan berbasis ilmu pengetahuan, pengalaman, bahkan sejarah Wah, boleh juga. Memang, perlu usaha lebih untuk naik ke level ini.

Ia harus banyak membaca. Tentu saja. Akrab dengan beragam teori yang relevan dengan bahasan. Hadirkan tokoh-tokoh dengan beragam pandangan untuk memperkaya pengetahuan. Analisis yang tajam dengan argumen-argumen meyakinkan. Sungguh, tak mudah. Sebuah challenge (tantangan) tersendiri, tapi bagus untuk menghadirkan diri yang kontributif bagi sesama, bukan sekadar komentar yang hanya memperkeruh suasana. []

Salam

Yons Achmad
Kolumnis & Praktisi Branding
CEO Brandstory.ID

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *