“Orang banyak pengen hidup yang aman,
tapi tahu enggak yang paling seru itu justru hidup sebagai perintis.
Enggak ada yang nunjukin arah,
enggak ada yang ngejamin hasil tapi justru itu letak asyiknya.”
Kata-kata itu bukan diucapkan oleh Mario Teguh (Motivator), tapi diucapkan oleh seorang anak berusia 10 tahun tentang asyiknya jadi perintis, bukan pewaris. Ia adalah anak dari Christopher Sebastian, seorang CEO sebuah perusahaan. Berlatar keluarga berada, sang anak dikenal aktif membangun kariernya sendiri sebagai kreator konten sekaligus pengusaha muda.
Sejak usia lima tahun, mulai membuat konten di YouTube dengan bantuan tim ayahnya. Memasuki usia tujuh tahun, ia mulai serius dan membentuk tim sendiri. Kini, ia aktif di YouTube, Instagram, dan TikTok dengan jumlah pengikut fantastis: 1,66 juta subscriber di YouTube, 1,1 juta follower Instagram, dan 2,5 juta pengikut TikTok.
Video dengan kata-kata motivasi itu viral. Banyak juga yang bikin video tandingan. Bukan mengapresiasi, tapi lebih banyak nyinyir, meledek dan mencaci maki. Ayo kita telisik? Kali ini dengan kepala dingin.
Sebelum kita bahas kontennya, kita luruskan sebentar. Perintis ya bisa diartikan mereka yang merintis. Disematkan pada mereka yang memang merintis dari awal. Saya tak akan bilang dari nol. Kenapa? Ini sama saja mengabaikan Tuhan. Misalnya fisik, badan sehat, pikiran waras kenapa seolah tidak dihitung?
Soal pewaris, juga perlu diluruskan. Dia bukan orang yang mendapatkan warisan, justru pewaris itu mereka yang memberikan warisan. Lalu, kalau yang mendapatkan warisan apa disebutnya? Ya sebut saja mereka itu ahli waris alias orang yang kelak mendapatkan warisan.
Kesalahan serupa terjadi pada kata pembelajar sebagai orang yang sedang belajar, bukan itu arti yang pas. Tepatnya, pembelajar adalah orang yang membelajarkan (pengajar). Sedangkan, pemelajar sebagai orang yang mempelajari (murid atau siswa). Mungkin terkesan membingungkan, tapi ya begitulah yang konon benar menurut Badan Bahasa. Bukankah kita sudah akrab dengan kata pelajar?
Tapi, kita tak sedang bicara soal itu sekarang.
Kembali ke soal perintis dan pewaris itu. Diskusi soal “Ahli Waris” sudah jelas ya. Nah, sekarang, pertanyaan eksistensial yang perlu kita ajukan. Kita sekarang ini sedang menjadi perintis atau pewaris? Dalam skala yang kecil misalnya dalam keluarga, sebenarnya, apa yang sedang dirintis, apa yang sedang ingin diwariskan?
Di dunia politik, ada yang merintis bikin partai sendiri, kemudian jadikan anak-anaknya menjadi “ahli waris” sebagai ketua umum. Ada juga sih yang cari gampangnya. Coba bajak partai besar orang lain, tapi belum berhasil, lalu beralih “bajak” partai kecil dan tempatkan anaknya jadi ketua umum. Itu realitas politik.
Dalam dunia bisnis, sudah tak terhitung banyaknya, bagaimana para orang tua meristis usaha, memiliki perusahaan-perusahaan besar. Lalu menempatkan anak-anaknya sebagai “Ahli waris” perusahaan, tinggal mengelola saja, tak perlu repot-repot dirikan perusahaan sendiri. Dan kini, tentu banyak para ayah yang juga melakukan hal yang sama semacam itu, harapannya biar anak-anaknya tidak hidup susah kelak.
Tapi, dunia perintis sekaligus pewaris ini, yang bikin saya takjub adalah mereka yang berkiprah di dunia pendidikan. Baik pendidikan dalam bentuk sekolah, kampus atau pondok-pondok pesantren. Para ayah, mereka sudah merintis sejak muda dengan ilmu dan usaha (bisnis) yang dijalankan. Kini, mulai berpikir apa yang bisa diwariskan untuk anak-anaknya.
Di dalam keluarga muslim, maka mereka mulai mendidik anak-anaknya dengan kurikulum “Iman” dan “Quran”, menjadikan mereka beradab sekaligus berilmu pengetahuan. Para ayah, mulai mendirikan semacam yayasan pendidikan, baik sekolah formal, kampus, maupun pondok-pondok pesantren. Kelak, anak-anak merekalah yang sudah dibekali ilmu dan adab itu, bisa mengabdikan diri pada sekolah, kampus dan pondok-pondok pesantren yang didirikannya.
Merekalah yang kita sebut sebagai perintis sekaligus pewaris. Mereka yang merintis jalan bagi tumbuhnya generasi sebagai estafet peradaban. Membangun lembaga, institusi, yayasan, bagi gerak langkah peradaban melalui jalur pendidikan. Ia perintis sekaligus pewaris. Anak-anaknyalah kelak yang melanjutkan perjuangan. Singkat cerita, menjadi perintis, tak semua orang berhasil, menjadi pewaris, tak semua juga bisa. Orang sering bilang “Hidup Adalah Perjuangan”. Ya memang begitu, tapi tepatnya “Hidup menjadi lebih bergairah kalau ada sesuatu yang sedang diperjuangkan”. Siap menjadi perintis sekaligus jadi pewaris? []
(Yons Achmad. Penulis dan Pendiri Brandstory.id)

Comment