Berkumpulnya ormas-ormas Islam menyisakan sedikit harapan bagi angin segar perubahan. Pada 30 Agustus 2025, Presiden Prabowo undang Ketua (pimpinan) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen), ormas-ormas Islam ke Hambalang. Sekira, ada 16 Ormas yang diundang. Muhammadiyah, NU, DDII, PUI, Al-Irsyad, Mathalul Anwar, AQL, Syarikat Islam, Persatuan Islam, Al-Wasliyah, Wahdah Islamiyah, Hidayatullah, Perti, Ikadi, KB PII dan Al Ittihadiyah.
Bagaimana kita membaca peristiwa keumatan ini?
Memang, ada pandangan, Prabowo menempatkan ormas Islam kali ini sekadar sebagai “Pemadam Kebakaran”. Alasan dikumpulkannya ormas-ormas Islam ini sekadar untuk meredam aksi-aksi mahasiswa tanggal 25 Agustus dan aksi-aksi lanjutan elemen masyarakat luas yang diwarnai kekerasan, penjarahan, perusakan fasilitas umum, gendung-gedung pemerintah dan DPRD. Tentu sebuah pandangan biasa dan wajar.
Tapi, apakah hanya bisa dibaca sebatas itu?
Saya kira tidak. Acara silaturahmi semacam itu bisa dibaca sebagai sebuah penghargan bagaimana Prabowo masih cukup “Nguwongke” ormas-ormas Islam itu. Sementara, diantara elemen ormas, menjadi semacam ajang silaturahmi dan komunikasi personal antar tokoh yang selama ini mungkin begitu sulit berkumpul bersama. Suara-suara keumatan menjadi semakin kaya untuk disuarakan langsung dihadapan Presiden Prabowo.
Memang, ada yang menilai ormas-ormas itu tak bakal bisa kritis memberikan pandangan-pandangannya. Kenapa? Ya karena politik kepentingan. Beberapa ormas di atas diantaranya mendapat jatah “Kue Kekuasaan”. Mulai dari menteri, wakil menteri, staf khusus, komisaris-komisaris BUMN sampai jatah proyek semacam kelola tambang. Lagi-lagi ini pandangan sumir, tapi apa boleh buat, kelola ormas tak gampang, butuh logistik yang mencukupi. Jalan mendekat kekuasaan adalah masuk akal agar eksistensi lembaga terus terjaga.
Kabar baiknya, masih cukup banyak ulama-ulama yang cukup vokal melakukan kritik terhaap beragam kebijakan publik penguasa. Diantaranya tentu Habieb Rizieq Shihab. Sosok yang memilih berada di luar kekuasaan. Merawat komunitas (jamaah) yang lumayan besar dan tersebar di berbagai penjuru. Sosok yang selalu lantang, tegas, tanpa ragu suarakan nilai-nilai kebenaran. Begitu juga, ada sosok Ustaz Abdul Somad (UAS) yang juga tak kalah kritisnya berikan pandangan-pandangan keumatan yang terkait dengan kekuasaan, walau dengan gaya yang lebih rileks dan santai.
Terlepas dari semua itu, saya kira, harapannya, kompaknya ormas Islam tak sekadar dalam acara-acara seremonial semata. Bukan pula sebagai “pemadam Kebakaran” semata. Tetapi, dalam aksi-aksi gerakan yang lebih menukik. Semisal jihad konstitusi agar negara ini bisa dikelola dengan lebih berkeadilan, agar “Serakahnomics” tidak lagi menjadi sebuah kewajaran terutama bagi pejabat publik dan pemangku kebijakan (stakeholder). Suara kebatinan ummat inilah yang perlu terus disuarakan. Dengan demikian, ormas menjadi lebih berguna secara konkrit di mata ummat, bukan justru sebatas jalan untuk mendekat dan meraih keuntungan (pribadi) dari kekuasaan. Saya kira, ini tantangan besar ormas-ormas Islam kita. []
Yons Achmad. Kolumnis dan Konsultan Komunikasi.

Comment