Kolom
Home » Article & News » Blunder Komunikasi Nanik Deyang Soal Insentif Rp 5 Juta untuk Konten Viral Program MBG

Blunder Komunikasi Nanik Deyang Soal Insentif Rp 5 Juta untuk Konten Viral Program MBG

Publik dikejutkan oleh pernyataan Nanik S. Deyang , Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), yang menyebut bahwa akan diberikan insentif pribadi sebesar Rp 5 juta kepada satuan pelaksana daerah yang membuat konten positif dan viral tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pernyataan ini kemudian langsung menimbulkan kebingungan dan kritik dari berbagai pihak karena dianggap sebagai “janji” yang tidak berbasis kebijakan formal.

Tak lama setelah pernyataan tersebut muncul, BGN melalui Kepala Biro Hukum dan Humas, Khairul Hidayati, mengklarifikasi bahwa insentif Rp 5 juta itu “hanya guyonan” yang disampaikan dalam suasana santai saat rapat koordinasi teknis. BGN menegaskan bahwa tidak memiliki kebijakan resmi yang menetapkan pemberian uang tunai sebagai imbalan atas konten viral.

Pernyataan Nanik Deyang tampaknya disampaikan dalam forum internal (rapat koordinasi), namun kemudian tersebar ke publik sebagai siaran pers atau rilis resmi. Akibatnya, “frame” atau kerangka pesan yang dimaksud (motivasi antar-pelaksana) berubah menjadi “janji insentif” di mata publik. Kerancuan ini mencerminkan kegagalan dalam pengelolaan “kanal” dan “audien” yang tepat.

Ketika publik menerima pesan ambigu dari pejabat publik, maka media dan opini publik akan mengambil alih interpretasi. Dalam kasus ini, media melaporkan bahwa ada janji insentif, kemudian BGN harus melakukan klarifikasi. Proses ini menunjukkan bagaimana institusi komunikasi publik perlu mengontrol narasi bukan hanya membuat pesan, tetapi juga mengelola interpretasi publik.

Pernyataan insentif Rp 5 juta awalnya mungkin dimaksud sebagai “metafora motivasi”, namun karena dipublikasikan tanpa konteks yang jelas, frame-nya menjadi “hadiah uang” yang konkret. Ketika frame berubah, reaksi publik pun berbeda, kritik muncul karena dianggap janji yang tak realistis atau bahkan memberi kesan menggunakan dana publik untuk viral marketing. Hal ini menyebabkan trust (kepercayaan) terhadap institusi bisa menurun.

Selanjutnya dari perspektif etika komunikasi publik, pejabat publik harus memperhatikan bahwa pesan yang muncul meskipun dalam konteks internal atau gurauan tetap bisa diakses publik dan dianggap sebagai pernyataan resmi. Ketidakjelasan bahwa itu “hanya candaan” mengindikasikan kurangnya pemahaman terhadap “public sphere” di zaman media sosial, di mana tidak ada lagi zona privat sepenuhnya. Hal ini menuntut standar kejelasan yang lebih tinggi dalam pilihan kata, saluran, serta dokumentasi.

Konteks program MBG sendiri sensitif karena terkait dengan anggaran publik, gizi anak sekolah dan masyarakat, serta isu hoaks dan miskomunikasi publik yang tinggi. Pernyataan insentif viral ini dapat mengaburkan fokus utama yaitu edukasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program. Dari sisi komunikasi organisasi, muncul gap antara pesan institusi (BGN) dan pesan yang diterima publik yang menuntut manajemen risiko reputasi.

Singkat cerita, blunder komunikasi Nanik Deyang soal insentif Rp 5 juta bagi konten viral MBG adalah contoh klasik kegagalan dalam mengelola pesan publik, saluran komunikasi, dan framing yang tepat. Dari kasus ini kita belajar bahwa bukan hanya apa yang disampaikan penting, tetapi juga bagaimana, kepada siapa, dan dalam konteks apa pesan itu muncul. Agar institusi publik tetap dipercaya dan efektif dalam komunikasi, elemen-elemen tersebut harus dikontrol secara serius.

Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. Pendiri Brandstory.id

Related Posts

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *