Tragedi banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, kembali membuka diskusi tentang “gosip” bagaimana “Komunikasi Satu Pintu” menjadi tema yang menarik untuk diperbincangkan kembali. Awalnya, memang berasal dari “kasak-kusuk” orang-orang kementerian yang begitu sulit mengakses Presiden Prabowo. Bahkan, konon, (mantan) kepala PCO alias Kantor Komunikasi Presiden yang kini menjadi Badan Komunikasi Pemerintah, Hasan Nasbi memilih mundur, salah satunya karena begitu sulit “bertemu” dan mengakses langsung Presiden Prabowo.
Problem internal itu menjadi keprihatinan terbatas di lingkaran kementerian. Tapi, ketika kemudian sudah menyangkut hajat hidup orang banyak yang mengharuskan ambil keputusan secara benar, tepat dan cepat, isu “Komunikasi Satu Pintu” itu kembali mendapatkan momentum untuk dibaca kembali. Efektifkah model komunikasi semacam ini?
Tak bisa dipungkri, Menteri Sekertaris Kabinet (Menseskab), Teddy Indra wijaya adalah orang kepercayaan Presiden Prabowo. Fenomena ini awalnya dinilai wajar saja. Tiap presiden punya lingkar kepercayaan masing-masing. Dirinya yang dianggap paling bisa menjaga arah, menjaga rahasia, menjaga agar pesan tak belopotan ke mana-mana, tak bocor ke publik ke arah yang salah. Di sini, info “Satu Arah” Teddy, menjadi semacam info utama yang paling bisa dipercaya untuk mendapakan gambaran bagaimana Presiden Prabowo menyampaikan “suaranya”.
Kembali ke soal menteri Teddy, sosok perwira muda ini, memang terlihat di publik dengan pembawaan yang tenang, wajah yang tampan, cukup punya wibawa, bahasanya tertata dengan baik, lebih banyak diam, tidak cerewet di media. Entah bagaimana prosesnya, kemudian fakta berbicara, semua yang ingin menyampaikan informasi, harus melalui dirinya. Ia, kemudian menjadi semacam “Gerbang Tunggal”. Jangankan wakil menteri, bahkan menteri sekalipun banyak yang mengaku kesulitan menyuarakan sesuatu kepada presiden. Alhasil, kementerian-kementerian menjadi terlihat berjalan sendiri-sendiri, seolah bahkan menjadi “Negara dalam negara”.
Dilihat dalam perspektif komunikasi pemerintahan, dikenal istilah principal: agent problem, ketika pemimpin terlalu bergantung pada satu perantara, informasi yang diterima bisa bias, disaring oleh kepentingan. Agent itulah yang kini kita kenal sebagai menteri Teddy. Ia bukan sekadar penyampai pesan, tapi penentu siapa yang boleh bertemu dan bicara.
Bagi yang pro komunikasi semacam ini, bisa jadi, menilainya dengan sentimen yang positif. Tapi, kalau melihat misalnya dalam perspektif lain. Semisal analogi teknologi, single point of failure di mana jika satu titik gagal, seluruh sistem runtuh. Begitu juga dalam komunikasi negara. Jika semua keputusan, klarifikasi, dan narasi bergantung pada satu orang, maka kegagalan satu orang bisa melumpuhkan semuanya. Pada titik inilah, narasi “Komunikasi Satu Pintu” ini bisa dibaca kembali efektifitasnya.
Kalau kita lihat kajian survei. Umpamanya, Hasil survei Litbang Kompas berjudul Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran yang dirilis Senin (20/1/2025) mencatat, kepuasan kinerja pemerintah berada di angka 80,9 persen. Sementara hasil Jajak Pendapat Kompas: Pemerintah Perlu Perbaiki Komunikasi Publik yang dipublikasikan Senin (3/3/2025) mengungkap, 68,8 persen responden merasa kebijakan atau program baru pemerintah belum tersosialisasikan dengan baik.
Kesenjangan antara soliditas internal dan persepsi eksternal inilah yang menjadi pekerjaan rumah utama Seskab untuk memastikan harmoni komunikasi pemerintah benar-benar terwujud dan dirasakan oleh masyarakat. Agar penyampaian pesan publik oleh pemerintah dilakukan dengan pendekatan adaptif, cepat, transparan, dan mudah diakses masyarakat.
Satu hal juga yang pasti, sistem check and balance dalam pemerintahan membutuhkan transparansi dan akuntabilitas di semua lini. Komunikasi terpusat yang menempatkan satu orang sebagai penguasa tunggal arus informasi pada akhirnya justru bertentangan dengan prinsip tersebut. Tidak ada mekanisme kontrol yang memadai untuk memastikan Teddy menjalankan perannya secara objektif dan profesional. Di sini, kemudian, “Kebisingan Demokrasi” diperlukan. Kritik dan kontrol publik diperlukan, demi terciptanya arus komunikasi yang lebih adil dan pro kerakyatan.[]
(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. Pendiri Brandstory.id)

Comment