Namanya Endipat Wijaya. Publik boleh jadi belum pernah mengenal sosok ini sebelumnya. Tapi, karena pernyataannya “viral”, ramai-ramai publik menyorotinya, kali ini dengan sentimen yang sangat negatif. Sosok ini adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Gerindra. Anggota Komisi 1 DPR RI membidangi urusan Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika (Kominfo), serta Intelijen.
Alkisah, berawal dari pernyataan Endipat saat rapat Komisi I DPR dengan Menteri Komdigi Meutya Hafid membahas isu strategis nasional, termasuk penanganan bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Ada beberapa pernyataan yang terlontar. Kita baca dengan cermat.
“Ke depan Kementerian Komdigi ini mengerti dan tahu persis isu sensitif nasional dan membantu pemerintah memberitahukan dan mengamplifikasi informasi, sehingga enggak kalah viral dibandingkan dengan teman-teman yang sekarang ini, paling-paling di Aceh, di Sumatra, dan lain-lain itu,” ujar Endipat.
Ia juga menyinggung adanya figur tertentu yang menurutnya hanya tampil sesekali, tetapi seolah menjadi pihak paling berjasa saat bencana menimpa Aceh. “Ada orang yang cuma datang sekali, tapi seolah-olah paling bekerja di Aceh,” katanya.
Endipat juga mengatakan pemerintah sudah bekerja dan hadir sejak awal bencana. Ia tak ingin upaya tersebut tertutupi oleh narasi yang menyebut pemerintah lambat. “Padahal negara sudah hadir dari awal, ada orang baru datang, baru bikin satu posko, ngomong pemerintah enggak ada. Padahal pemerintah sudah bikin ratusan posko di sana,” ucapnya.
Ia meminta publik mendapat informasi lengkap mengenai besarnya intervensi pemerintah dalam membantu penanganan bencana. “Sehingga publik tahu kinerja pemerintah itu sudah ada, dan memang sudah hebat,” sambungnya.
Endipat kemudian menyoroti gerakan donasi yang mendadak viral hingga mencapai belasan miliar rupiah, namun dianggap lebih mendapat perhatian publik. Jika dibandingkan dengan bantuan dari pemerintah. “Orang-orang cuma nyumbang Rp10 miliar. Negara sudah triliun-triliunan ke Aceh itu, Bu. Jadi yang kayak gitu-gitu mohon dijadikan perhatian,” katanya. Ia turut mencontohkan langkah sigap TNI AU, yang menurutnya langsung mengerahkan 4–5 pesawat sejak hari pertama bencana melanda.
Dari sekian lontaran pernyataan demikian, sorotan tentang “Sok Paling” dan “Cuma Nyumbang 10 Milyar” menjadi perhatian karena dibandingkan dengan negara yang katanya sudah mengalokasikan dana triliunan ke Aceh dan Sumatera. Apa yang kemudian terjadi di ranah media sosial. Seperti biasa, ramai-ramai “Mencaci” dan “Menghakimi” anggota dewan tersebut.
Saya, izinkan tidak dalam posisi demikian. Tapi, sekadar memberikan dan berbagi perspektif lain.
Saya sendiri mencermati dari awal lontaran, kemudian viral dan berujung pada permintaan maaf. Saya memang sedang rajin mendokumentasikan dan mengkaji beragam kasus “Komunikasi Pejabat Publik,” terkait bagaimana beragam performa dan “siasat” dilakukan. Kali ini, saya memberikan setidaknya tiga catatan.
Pertama, konteks lontaran pernyataan. Sebenarnya, sebagai anggota DPR, Endipat Wijaya sudah pas lontarkan pernyataan yang sebenarnya sebuah kritik ke pemerintah. Ia menyampaikan kritik terkait strategi komunikasi pemerintah dalam penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatra. Ia menilai berbagai upaya dan bantuan pemerintah tidak terekspos maksimal, bahkan kalah viral dibanding aksi donasi yang digagas sejumlah relawan. Menurut Endipat, pemerintah seharusnya bisa lebih cepat dan aktif menginformasikan apa yang sudah dilakukan di lapangan. Hal itulah yang ia sampaikan dalam rapat kerja bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di Kompleks Parlemen. Sebenarnya, inilah intinya. Tapi, ternyata, banyak varian “pesan” menyertainya.
Kedua, respon publik. Hanya, memang kemudian, pemilihan bahasa, cara menyampaikan lontaran pendapat yang sentil influencer, cenderung meremehkan yang mencapnya sebagai “Sok Paling”, hingga membandingkan dengan kinerja pemerintah, ini yang kemudian menjadi polemik. Tentu saja, hal ini tak pernah diduga sebelumnya. Maka, tak hanya lontaran ini yang kemudian banyak mendapat respon negatif publik. Warganet dan media pun mencoba “bongkar” siapa sosoknya, berapa harta kekayaannya, isi garasinya. Warganet juga coba cari “Temuan Kebobrokan” Sang Dewan. Untungnya, tak ada temuan yang mencurigakan. Kalau ada, mungkin kasusnya bakal melebar ke mana-mana dan karier sebagai anggota dewan terancam dan bisa jadi “Kariernya Tamat”.
Ketiga, akhir cerita berujung maaf. Kabar baiknya, perminfaan maaf segera disampaikan ke influencer yang berhasil galang dana 10 Milyar (Fery Irwandi dkk) tak lama setelah polemik terjadi. Seperti biasa, warganet Indonesia mudah memaafkan. Tapi, tentu saja, bagi Sang Dewan, kasus ini bagaimanapun juga bisa menjadi pelajaran. Meremehkan warga yang mencintai negerinya dengan kontribusi nyata, baik disengaja maupun tidak, bisa mengundang “Perlawanan Publik”. Setidaknya, itulah catatan “Hikmah” dalam kasus komunikasi publik pejabat kali ini. Permintaan maaf, sebuah langkah yang tepat. Dan, isu pun mereda pelan-pelan.
(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. Pendiri Brandstory.id)

Comment