Sosok itu mengajarkan ketenangan di tengah badai. Menjaga akal kewarasan di tengah dunia yang begitu arogan dan semena-mena. Namanya Muhammad Imam Muslimin yang akrab dipanggil “Yai Mim”. Seorang dosen Tasawuf di UIN Malang, Jawa Timur. Kisahnya viral di media sosial karena perseteruan dengan tetangganya sendiri. Tetangga itupula yang memvideokan secara serial di media sosial yang kemudian menyedot atensi publik.
Kisah perseteruan itu, bermula dari tetangganya bernama Sahara, pemilik rental mobil yang parkir sembarangan. Posisi parkirnya, tepat di depan rumah Yai Mim. Konon ceritanya, tanah di depan rumah Yai Mim itu adalah tanah yang telah diwakafkan untuk jalan umum. Tapi kemudian, digunakan Sahara untuk memarkir mobil bahkan dijadikan kandang kambing. Maka, perseteruanpun berlangsung.
Sahara aktif memvideokan perseteruannya dengan Yai Mim dan dipublikasikan di media sosial. Terang saja, konflik-konflik bertetangga semacam ini mendapat penonton yang banyak dan viral. Dalam video-video yang ditayangkan Sahara, terkesan Yai Mim sosok yang “Gila”. Saat dirongrong, ia pura-pura jatuh bahkan memainkan “drama” stroke. Hasilnya, hujatan publik pada Yai Mim berdatangan, bahkan kemudian sampai dipecat sebagai dosen dan diusir oleh RT dan RW nya sendiri.
Merasa di atas angin, video-video terus bermunculan yang memojokkan Yai Mim. Warganet (netizen) mulai menemukan beragam kejanggalan. Mulai dari kenapa RT/RW, Lurah, Camat dan seterusnya terkesan diam dan membiarkan perseteruan itu. Sampai kemudian, diketahui suaminya adalah mantan ketua ormas berbasis etnik madura Asli (MADAS). Foto-foto lawas Sahara yang dituding mantan LC juga beredar, memang dibantah pengacaranya, yang menyebut Sahara adalah santri, tapi justru menjadi serangan balik. Warganet menyayangkan, apalagi menyebut santri tapi perilakunya dinilai tidak atau kurang beradab.
Seperti biasa, podcast menjadi media “Ajang Klarifikasi”. Salah satunya di Podcast Deny Sumargo. Tak hanya Yai Mim, tapi juga Sahara. Semua tayang. Di sana, jawaban-jawaban yang lumayan berkelas dan intelek Yai Mim muncul. Jejak-jejak laku sufistik hadir. Ia tak mau terpancing emosi, berusaha menahan diri, tetap menjaga adab dan akhlak. Drama-drama stroke, guling-giling menurutnya sekadar taktik psikologi sufistik mengalahkan lawan tanpa disadarinya. Kini, hasilnya, opini publik berbalik mendukung Yai Mim.
Saya, tak akan fokus tentang konflik bertetangganya, termasuk dampak hukum yang menyertainya. Saya di sini, melihatnya dalam perspektif komunikasi. Di mana, saya kira Yai Mim, secara sadar maupun tidak sadar, telah menjalankan apa yang kita sebut saja kearifan komunikasi. Ia tidak terprovokasi, ia tidak terpancing emosi, ia tetap tenang menghadapi kenyataan yang bahkan sangat menghinakan dirinya. Jelas, ketenangan demikian, memberikan dampak yang begitu positif bagi dirinya.
Kini, simpati publik berdatangan. Sosok Yai Mim juga ternyata sangat piawi membangun komunikasi dan ejjaring. Termasuk dengan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM), begitu Juga wakil Walikota Surabaya Armuji. Keduanya dikenal aktif pejabat publik yang “ngonten’. Mereka datang ke rumah Yai Mim. Konon, memediasi konfliknya dengan Sahara Cs. Kini, konfliknya lumayan mereda.
Di sini, saya melihat, di saat terjadi kondisi-kondisi genting yang merugukan diri, ternyata kearifan komunikasi (digital) tetap memainkan peran yang cukup signifikan. Satu bentuk kearifan yang selain bisa memberikan kontribusi positif bagi diri, juga bisa merebut simpati publik. Sementara, pesan-pesan kasar, provokatif, nir empati, semena-mena akan merugikan siapapun. Dalam kasus ini, Sahara cs mungkin sudah minta maaf. Tapi, Ada prinsip bahwa dalam proses komunikasi, pesan yang sudah dikirim tidak bisa ”ditarik” kembali. Kita memang bisa mengirim permintaan maaf, Namun, itu tidak ”menghapus” pesan sebelumnya yang telanjur dimaknai.
Pesan demikian, seperti yang digambarkan dalam sebuah buku bagus bahwa ada prinsip dalam proses komunikasi, di mana pesan yang sudah dikirim tidak bisa ”ditarik” kembali (irreversible) (Joseph A DeVito, The Interpersonal Communication Book. Edisi ke-15, 2019). Kita memang bisa mengirim pesan berikutnya (misalnya permintaan maaf, ralat, dan lain-lain). Namun, itu tidak ”menghapus” pesan sebelumnya yang ”telanjur” dimaknai. Begitulah kearifan komunikasi menemukan maknanya tersendiri dalam kasus ini sebagai pelajaran kehidupan bagi siapapun.
Yons Achmad. (Praktisi Komunikasi. Pendiri Brandstory.id)

Comment