Kolom
Home » Article & News » Ketika  Gubernur Mualem Bakar Semangat Pejabat Aceh

Ketika  Gubernur Mualem Bakar Semangat Pejabat Aceh

Banjir dan tanah longsor  yang  melanda Aceh dan Sumatera  pada akhir November 2025 menimbulkan kerusakan hebat dan ratusan orang meninggal. Saking dahsyatnya, dilaporkan beberapa Bupati di Aceh “angkat tangan” alias menyerah menghadapi keadaan. Ambil contoh, Bupati Aceh Utara Ismail A Jalil menyampaikan ketidakmampuan dia dalam mengatasi banjir dan longsor. Ketidakmampuan itu tertera dalam surat Pemerintah Kabupaten Aceh Utara yang dikirim ke Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada 2 Desember.

Di surat itu, dia menyebut tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah itu imbas banjir dan longsor lebih parah dari bencana tsunami yang menimpa Aceh tahun 2004 silam. Ismail mengatakan, banjir dan longsor memporak-porandakan 27 Kecamatan dan 852 desa.

Bupati Aceh Tengah Haili Yoga juga kewalahan menangani dampak banjir dan longsor di wilayahnya. Ia menyampaikan pernyataan yang menggambarkan pemda butuh bantuan pusat untuk menanganinya. Akses jalan menuju Aceh Tengah sudah lumpuh dan tak bisa lagi dilalui kecuali jalur udara. Sejumlah titik jalan juga tertutup longsor dan jembatan terputus.

Bupati Pidie Jaya, Sibral Malaysi, menurut berbagai laporan juga menyatakan tak sanggup menangani dampak banjir di wilayah itu. Sikap tersebut tertuang dalam surat yang ditandatangani pada 25 November. Dalam surat itu, dia mengatakan bencana yang melanda Pidie Jaya menyebabkan kerusakan parah.

Fenomena bupati-bupati di Aceh yang dianggap “menyerah” menghadapi banjir dan longsor dapat dipahami sebagai bentuk krisis komunikasi pemerintah daerah ketika narasi yang disampaikan kepada publik menunjukkan ketidakmampuan mengelola situasi. Dalam perspektif Situational Crisis Communication Theory, pernyataan pejabat yang bernada pasrah atau menyalahkan kondisi alam dapat menempatkan pemerintah dalam cluster krisis “preventable” atau “mismanagement”, yaitu kondisi ketika publik menilai bahwa pemerintah seharusnya mampu mencegah atau meminimalkan dampak bencana melalui perencanaan tata ruang, mitigasi, dan koordinasi lintas lembaga. Ketika pemimpin daerah menunjukkan sikap tidak siap, publik merasakan kehilangan trust, sehingga komunikasi krisis berubah menjadi krisis reputasi.

Respons pejabat yang terkesan “menyerah” menunjukkan kegagalan dalam memilih strategi komunikasi yang tepat. Alih-alih menggunakan strategi corrective action (menjelaskan langkah konkret mitigasi dan penanganan), atau bolstering (memperkuat citra dengan aksi nyata). Akibatnya, publik menilai bahwa pemerintah kehilangan kontrol dan tidak memiliki kapasitas manajerial, sehingga krisis komunikasi berubah menjadi krisis legitimasi kepemimpinan.

Di saat hadapi kondisi semacam ini, Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem memberikan pesan kepada bupati atau kepala daerah di Aceh pasca banjir dan tanah longsor yang menerjang wilayahnya. “Kalau ada bupati yang cengeng dan menyerah menghadapi musibah ini, silakan mengundurkan diri atau turun dari jabatan. Kita ganti dengan yang lain, yang siap bekerja untuk rakyat,” ucap Mualem di Aceh Timur, dilansir Antara, Jumat (5/12/2025.

Dari sudut pandang crisis communication, ketegasan yang disampaikan Mualem tersebut dapat memiliki nilai strategis. Pemimpin sering kali  memang menggunakan gaya komunikasi keras untuk mengirim sinyal urgensi dan mendorong percepatan tindakan. Dalam situasi bencana, gaya komunikasi yang tegas kadang dipandang perlu untuk memotong prosedur berbelit dan menekankan pentingnya kesiapsiagaan. Kita, juga paham, latar belakang sosok gubernur ini adalah mantan Panglima GAM Aceh, maka semangat pantang menyerah sudah pasti dimilikinya. Pesan demikian yang sebenarnya ingin disampaikan. Sebuah pesan komunikatif yang sebenarnya bisa membakar semangat para pejabat Aceh untuk tak pasrah dan menyerah pada keadaan.

Gaya komunikasi Gubernur Aceh Mualem dalam pernyataannya yang meminta para bupati “tidak cengeng” menghadapi banjir dan longsor dapat dipahami sebagai komunikasi kepemimpinan yang berorientasi pada tough motivational style. Diksi yang tegas dan konfrontatif tersebut bertujuan membakar semangat, menanamkan mental tangguh, serta mendorong para kepala daerah agar lebih sigap dan mandiri dalam merespons bencana.

Dalam perspektif leadership communication, gaya seperti ini termasuk directive–motivational, yaitu komunikasi yang menekankan urgensi tindakan cepat dan tanggung jawab moral pemimpin lokal. Mualem seolah ingin membingkai bahwa penanganan bencana bukan hanya soal keluhan, tetapi soal kesiapan teknis dan keberanian mengambil keputusan di lapangan. Kalau kita lihat fenomena demikian, saya kira memang sebuah komunikasi yang tepat. Tujuannya jelas, pemerintah daerah hadir berikan solusi-solusi bencana, bukan justru menyerah dan lari dari tanggungjawab.

(Yons Achmad. Praktisi Komunikasi. Pendiri Brandstory.id)

Sumber foto: Kompas.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *