Kolom
Home » Article & News » Menjadi Pembicara Publik

Menjadi Pembicara Publik

Heboh di media sosial. Seorang lulusan S3 dari Monash University, hanya dibayar Rp.300 ribu saja ketika menjadi pembicara. Mengaku profesinya sebagai dosen tapi kurang dihargai. Diundang ke acara mahasiswa yang pesertanya ratusan dan berbayar. Dirinya kecewa karena merasa ada diskriminasi, karena narasumber lain (seorang influencer) dibayar belasan juta (honor plus ridersnya). Melihat kehebohan itu, saya menahan diri tak komentar. Kali ini menyimak saja.

Terlepas dari kasus itu, menjadi seorang pembicara memang menyenangkan. Selain bisa berbagai, pulang isi acara langsung mendapatkan honor saat itu juga. Untuk sampai ke sana, mungkin banyak orang yang menjalaninya secara autodidak, tapi juga ada yang serius kembangkan diri menjadi seorang pembicara publik profesional. Atau boleh juga menyebutnya dengan seorang trainer. Dengan serangkaian “Sekolah/kursus” dan sertifikasi ketat sebelumnya.

Saya sendiri, pernah tergoda ketika melihat buku yang terpampang di Gramedia. Judulnya “Trainerpreneur: Rahasia Menghasilkan 1 Milyar Pertama Dari Bisnis Training” karya Onky Hojanto. Saya baca tuntas. Buku itu isinya ternyata semacam pancingan saja. Kita diarahkan untuk ikut workshop (pelatihan) penulisnya agar bisa benar-benar mencapai yang diinginkan. Akhirnya, saya ikut juga. Pelatihan berbayar, saya memilih yang online. Satu syaratnya, harus on cam, kalau tak mau silakan batalkan pelatihan karena dinilai tak siap ikut. Saya tuntas ikuti pelatihannya.

Tapi, masih ada lanjutannya. Penulis tawarkan pelatihan lagi yang pendaftarannya jutaan. Kemudian, saya menjadi mengerti teori yang cukup masuk akal untuk bisa mendapatkan 1 M pertama itu. Hanya, praktiknya tak semudah teorinya. Tapi, dari situ saya belajar. Untuk bisa mendapatkan sesuatu, memang harus “Mengilmui” dulu. Itupun tak cukup, harus terus asah jam terbang dan bangun jejaring yang lebih luas lagi. Tapi, pada prinsipnya, menjadi pembicara, bisa menjadi alternatif dapatkan “cuan”. Hasilnya, tergantung kepakaran dan kompetensi bangun jejaring sang pembicara.

Terkait menjadi pembicara. Pertama kali saya bicara di depan publik karena paksaan. Terjadi ketika SMP. Waktu itu saya jadi Ketua Osis, ditawari apa bisa jadi khatib Jumat di sekolah. Katanya tinggal membaca saja. Ya sudah, siap. Itu pertama kalinya secara resmi bicara di depan banyak orang. Selanjutnya, di SMA, saat di Rohis, ketika pesantren kilat, membawakan materi kajian “Perang Pemikiran” (Ghazwul Fikri) di hadapan adik-adik kelas. Berlanjut ketika kuliah dan gabung di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), di situ intensitas menjadi pembicara lumayan sering.

Dunia pasca kampus, bekerja kantoran, tak banyak kenangan jadi pembicara. Kabar baiknya, saya suka menulis dan menyebarkannya di berbagai media dan media sosial. Dikenal sebagai penulis. Saya sempat menulis buku kecil juga “Menjadi Penulis Kreatif”. Dari situ, ternyata, malah menjadi sering diundang ke berbagai tempat, mulai sekolah, kampus, kementerian dan perusahaan-perusahaan swasta. Ternyata, ada hasilnya juga. Honornya, memang tak banyak, antara Rp.500 ribu sampai yang paling banyak Rp. 3.500.000 sekali jadi pembicara.

Tentu itu nominal yang kecil di mata pembicara profesional. Maka, ketika saya baca buku di atas, boleh juga tingkatkan kapasitas. Di buku itu diajarkan bagaimana ambil “Spesialisasi”. Anda ingin jadi pembicara publik spesialis apa? Saya agak bingung juga pada awalnya. Lalu, saya memutuskan, bagaimana kalau bismilah branding diri sebagai “Pengamat Komunikasi”. Kompetitornya memang tak main-main. Ada Prof. Ade Armando (UI), Prof, Effendi Gazali (UI), Hendri Satrio “Kedai Kopi” (Paramadina), Prof. Gun Gun Heryanto (UIN Jakarta). Bisakah? Dalam hati saya berguman optimis “Insyaallah bisa”.

Maka, saya kemudian lumayan rajin kirimkan rilis ke berbagai media, terutama televisi. Harapannya, diundang ke TV-TV untuk bicara dan bedah masalah nasional dalam perspektif komunikasi. Hasilnya, tak banyak. Hanya, yang paling berkesan, pernah se-forum sebagai narasumber dengan Prof. Tamrin Tamagola (Guru Besar UI). Waktu itu diundang di Jak TV, Jakarta. Temanya “Fenomena LGBT di Televisi”. Prof tersebut agak pro. Sementara saya dalam posisi menolak kampanye kewajaran LGBT di televisi, termasuk menolak acara kebanci-bancian di TV. Di forum itu Komisi Penyiaran Indonesia (Aghata Lily) juga sepakat tolak kampanye LGBT di Televisi.

Kembali ke soal honor, memang ini agak sensitif. Hanya, kalau boleh berbagi. Saat saya ikut semacam “Perkumpulan Trainer”, sepakat minimal “menggaji” diri sendiri Rp. 100 juta/bulan. Memang kemudian, tak mudah jalannya Cara hitungnya, hanya kerja Sabtu-Minggu saja. Sebulan 4 kali. Muncul angka Rp. 25 juta/training. Apakah Rp. 25 juta itu negotiable atau fix? Jawabannya adalah fix.

Konon, seorang trainer, coach atau konsultan (apapun namanya), sudah curahkan segala upaya, tenaga, pikiran dan doa untuk mencapai transformasi pribadi senilai Rp. 100 juta/bulan. Dan telah mengkonsentrasikan transformasi bagi orang-orang yang disentuhnya senilai Rp.100 juta (transformation). Angka ini boleh didebat. Tapi, masing-masing memang punya penghargaan diri berbeda-beda untuk mengukur dirinya.

Sementara, di lingkungan pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2023 sudah mengatur. Standar biaya masukan untuk honor pembicara berlaku sama untuk honor pakar, narasumber, praktisi, dan profesional yang dilibatkan dalam acara seperti seminar, webinar, lokakarya, simposium, workshop, sarasehan, diklat, sosialisasi, dan sebagainya. Estimasinya, untuk pembicara non PNS, sebesar Rp. 1.700.000/jam. Begitulah kira-kira gambaran seorang pembicara beserta honornya.

Kini selain menjadi penulis, saya juga tetap menjalani aktivitas sebagai pembicara publik. Temanya, ringan-ringan serius. Seputar “Penulisan Kreatif”, “Komunikasi Digital”, “Personal Branding”, “Literasi Digital”, Konten Kreatif” dan “Manajemen Komunikasi Publik”. Dengan pengetahuan semacam itu, harapannya, kualitas hidup, bisnis dan karier menjadi lebih meningkat. Agar perfoma tak mengecewakan, saya ikut sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Agar menjadi “powerfull”, antara materi (isi) dan penyampaian (public speaking) yang mudah dan gampang dimengerti peserta. Sekarang, bagaimana masalah honor? Ya kita bisa bicarakan baik-baik. Ahai. []

Yons Achmad. Pembicara publik. Pendiri Brandstory.id

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *