Jauh hari, seorang filsuf Perancis, Jean Baudrillard, sekira tahun 1981 telah menulis sebuah buku berjudul Simulacres et Simulation. Dalam buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1983 itu, Baudrillard memperkenalkan konsep “simulakra”. Diartikan secara sederhana berarti silang-sengkarut tanda yang tak memiliki hubungan dengan kenyataan.
Dalam dunia yang serba tak jelas. Di mana misalnya dunia digital penuh dengan kepalsuan sekarang. Beragam tanda dihadirkan sehingga sulit dibedakan mana yang asli mana yang palsu. Mana yang benar-benar kejadian secara alami, mana yang sekadar settingan. Konsep simulakra ini boleh kita pinjam sejenak untuk membedah performa logo baru PSI.
Seperti dalam pemberitaan media. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memulai gebrakan pada Juli 2025 dengan langkah simbolik yang sarat makna politik: mengganti logo partai. Logo baru ini menggantikan desain sebelumnya yang kental nuansa sosialis-progresif. Bendera bertuliskan ”PSI Partai Super Tbk” dan bergambar gajah merah-hitam menjadi pembicaraan yang lumayan ramai di media sosial. Ada yang mengapresiasi, tapi banyak juga yang mencibir bahkan mencemooh.
Sudah jelas, apa yang dilakukan PSI itu bentuk “Rebranding Politik”. Layaknya pertarungan partai-partai yang lumayan sengit, kompetisi elektoral yang semakin ketat, hadirnya logo memang berfungsi bukan hanya sebagai penanda, melainkan sebagai alat membangun asosiasi dan emosi publik. Hal ini yang kemudian menjadikan strategi visual menjadi penting. Dalam dunia branding, pembaruan visual dan citra partai bukan semata-mata perkara desain, melainkan bagian dari narasi politik yang ingin disampaikan. Pertanyaannya, narasi apa yang ditawarkan PSI?
Logo bergambar Gajah, dalam istilah Jawa, apa tidak “Kaboten Jeneng” (keberatan nama)? Layaknya sebuah nama yang yang disematkan pada putra Jawa. Biasanya, kalau namanya terlalu “Bagus” sang anak jadi sakit-sakitkan. Itu sebabnya, para orang tua Jawa sering mengganti nama anaknya agar lebih pas. Entah ini ilmiah atau mitos, faktanya itu yang kerap terjadi pada anak-anak putra Jawa tempo dulu. Kalau dikaitkan dengan simulakra, langkah PSI agak mengkhawatirkan. Kenapa? Ya itu tadi, faktanya PSI masih sebatas partai “Simulakra” dikesankan besar, tapi kenyataan tidak begitu.
Memang, dalam Pemilu 2024, PSI berhasil meningkatkan perolehan suara nasional dari 1,89 persen menjadi 2,81 persen. Tambahan sekitar 1,6 juta suara sah menjadi bukti bahwa pendekatan baru partai mulai menjangkau lebih banyak pemilih. Namun, angka itu tetap belum cukup untuk menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen yang diperlukan untuk mendapatkan kursi di DPR.
Analisis semacam ini mungkin tak mengenakkan PSI. Baiklah, kita berprasangka baik. Simbol Gajah mungkin menjadi semacam spirit bagi PSI untuk menjadi “Partai Gajah”, partai yang besar dan diperhitungkan di 2029 mendatang. Semua ini, tentu menjadi menarik karena ada Jokowi di belakang PSI. Semua tahu, orang boleh saja meremehkan Jokowi. Tapi, dia sosok petarung politik yang mulus dan tak terkalahkan sepanjang kontestasi, dari walikota Solo, Gubernur Jakarta sampai menjadi presiden dua periode. Pengalaman politik, jejaring dan logistik tentu masih sangat kuat.
Sementara, kalau melihat performa awal PSI. Partai ini dicitrakan sebagai partai anak muda yang idealis, banyak aktivis sebagai pengurus partai ini. Hanya, saat dipegang Kaesang Pangarep sejak tahun 2023 memang ada transformasi yang cukup berbeda. Entah ini sebagai kemajuan atau kemunduran. Sejak dipegang Kaesang, PSI menjadi partai yang lebih lunak, lebih santai, lebih pragmatis dan cenderung dekat dengan kekuasaan. Gaya komunikasi politik Kaesang juga cenderung lebih santai, rileks, dengan bahasa-bahasa yang ringan. Sangat berbeda dengan gaya komunikasi aktivis-aktivis PSI di awal pendirian yang cenderung serius dalam berargumentasi dan berbasis data. Apakah ini bentuk kemunduran atau kemajuan?
Tak ada yang bisa memprediksi dengan pasti. Semua akan terjawab pada pemilu tahun 2029 mendatang. Apakah PSI bisa masuk senayan atau tidak. Bagi saya, peluncuran logo baru PSI itu, sebagai sebuah “Branding politik” saya kira cukup berhasil. Menjadikan PSI kembali menjadi pembicaraan, termasuk ramai di media sosial. Hadirnya Jokowi dalam kongres PSI juga menjadi angin segar partai. Setidaknya, logistik partai aman karena ada Jokowi di belakangnya. Terlepas dari semuanya, politik simbolisme PSI saya kira berhasil sebagai sebuah jalan branding. Hanya saja, tantangan besar masih panjang ke depan. Bagaimana PSI bisa terus ramai di layar media sosial, tapi juga berhasil ramai di Senayan.
Yons Achmad. Pengamat Komunikasi. Pendiri Brandstory.id.

Comment