Dalam dunia pengembangan diri (self development), terutama untuk meningkatkan performa, baik dalam karir maupun bisnis, kita mengenal istilah di atas. Mindset, skillset dan toolset. Ketiganya, tentu ada relasi saling mendukung antara satu dengan lainnya. Dengan mengoptimalkan ketiganya, menjadikan kita lebih powerful (punya kekuatan yang besar) tetap relevan dalam setiap zaman.
Kali ini, saya akan coba mengaitkannya dengan usaha yang sedang kita maksimalkan saat ini yaitu personal branding. Sejenak kita merenung, apakah kita sudah benar memahami dan mengaplikasikannya dalam kehidupan keseharian atau belum. Kita akan sama-sama lihat.
Pertama, mindset personal branding. Terkait dengan pola pikir, cakrawala kita dalam memahami personal branding. Dalam kacamata yang negatif, orang sering menyebut personal branding dengan “Pencitraan” yang sering diartikan tampilkan sesuatu yang tak sebenarnya, aslinya tidak begitu. Tentu, kita tidak sepakat dengan pengertian demikian. Kali ini, sebut saja personal branding sebagai bagian dari apa yang disebut dengan “Strategi Komunikasi”. Sebuah perencanaan yang terstruktur dalam pengelolaan pesan serta interaksi dengan audiens untuk mencapai tujuan tertentu yang kita inginkan. Dengan demikian, menjadikan personal branding sebagai cara yang legal dan elegan tampilkan performa terbaik kita, versi terbaik kita.
Kedua, skillset personal branding. Dalam hal ini, dua skill sekaligus. Dalam arti skill apa yang bisa kita tawarkan untuk publik. Misalnya, seorang desain grafis, fotografer, arsitek, mediator, pelukis mural, pegiat kerajinan tangan (handycrafts), penulis dst. Dengan skill demikian, bisa sebagai modal untuk mendapatkan “Cuan”. Skill yang kedua, terkait dengan bagaimana mengomunikasikan skill (utama) kita itu. Maka, kemampuan misalnya menulis (copywriting atau storytelling), kemampuan public speaking (bicara di depan publik), negosiasi, kemampuan menulis proposal penawaran yang bagus, keterampilan membuat video-video singkat untuk materi personal branding menjadi penting. Untuk yang kedua ini, tentu bisa dikerjakan sendiri, bisa juga berkolaborasi dengan pihak lain. Singkat cerita, skill utama ahrus tetap bisa terus dikomunikasikan.
Ketiga, skillset personal branding. Alias perangkat-perangkat yang diperlukan. Antara skillset dan toolset ini kadang paradoks di dunia kerja. Ada yang punya perangkat bagus misalnya kamera bagus, sofware editing video yang canggih, berlangganan layanan profesional misalnya Canva Pro, Capcut pro atau layanan AI berbayar mahal tapi tidak punya skill mengoperasikannya. Sementara, misalnya ada yang bisa memakai kamera bagus tapi tidak punya kamera sendiri, begitu juga bisa desain atau edit video tapi belum mampu berlangganan tool-tool itu secara berbayar itu. Hal seperti ini yang sering terjadi.
Atas fakta demikian, dalam personal branding, saya kira yang paling penting adalah benahi mindset kita dulu. Kemudian menyadari dan percaya betul dengan keahlian, kemampuan dan keterampilan kita (Skill), ini terkait dengan satu saja skill yang benar-benar bisa kita andalkan. Selanjutnya, dalam mengomunikasikan pesan, begitu juga produksi konten untuk personal branding, kita bisa lebih terbuka dan fleksibel, berkolaborasi dengan generasi yang lebih mahir, misalnya generasi Z (Gen Z). Itu jalan realistis agar kita tetap terus bisa hadir dan relevan dalam setiap zaman.

Comment