Apakah Tom Lembong itu memang koruptor atau tumbal politik? Saya kira bisa keduanya. Ketika, Tom Lembong sudah diputuskan bersalah karena kasus korupsi lewat pengadilan resmi negara, maka tak ada yang bisa semena-mena berargumen bahwa Tom Lembong orang yang bersih, tidak korupsi. Sementara, kontra narasi bahwa Tom Lembong sebenarnya orang yang bersih dan hanya dijadikan tumbal politik ya sah-sah saja sebagai sebuah wacana. Keduanya, antara seorang koruptor dan sebagai tumbal politik, tergantung siapa yang “ngomong”, siapa yang berargumen.
Begitulah dunia hukum Indonesia bekerja. Ada paradoks, ada kontroversi, ada ironi. Tom Lembong, hanya bisa dinyatakan benar-benar bersih kalau dia bisa ke luar dari pengadilan dan dibebebaskan tanpa syarat. Artinya, dia bisa berdalih bukan koruptor. Tapi, kalau sudah diputuskan pengadilan akhir. Tak peduli sekontroversial hakim yang memutuskan, tetap saja cap koruptor melekat dalam dirinya.
Apakah demikian akhir dari sebuah karier politik? Tidak.
Orang Indonesia mudah lupa. Muhammad Rohmahurmuzy, mantan narapidana korupsi kembali melenggang dan diterima lagi sebagai politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mantan narapidana korupsi lain seperti Burhanudin Abdullah (Mantan Gubernur BI), masih bisa berkiprah di Partai Gerindra dan bahkan kini jadi Komisaris Utama PLN. Itu sekadar contoh saja. Memang, tak selalu mulus. Anas Urbaningrum (Mantan Ketua Umum Partai Demokrat) tersandung korupsi proyek Hambalang. Setelah ke luar dari penjara, tak lagi ke Partai Demokrat. Tapi tetap bisa berpolitik praktis, lewat Partai Kebangkitan Nasional (PKN).
Melihat kasus-kasus di atas. Ketika benar-benar Tom Lembong nantinya dihukum karena terbukti korupsi dan sekaligus menjadi tumbal politik, ya memang begitulah fakta politik yang mesti dijalani. Satu-satunya harapan adalah persepsi publik. Ketika persepsi publik lebih condong melihat bahwa Tom Lembong korban atau tumbal politik, sejauh itu pula dia akan kembali dan mudah mendapatkan dukungan. Ketika dirinya nantinya menjadi pejabat publik kembali, atau menjadi politisi Partai “Gerakan Rakyat” yang saat ini sedang digagas sahabat (politiknya), tak lain tak bukan Anies Baswedan. Ada kemudahan jalan ke sana.
Rasa-rasanya, kalau bertarung lewat hukum, Tom Lembong sulit terbebas dari jeratan kasus korupsi. Jalan lain yang kemudian bisa dilakukan, tak lain tak bukan terus membangun persepsi publik. Bahwa dakwaan korupsi Tom Lembong kurang masuk akal. Banyak kejanggalan-kejanggalan hukum. Hanya saja, dalam perkara hukum ini, biarlah menjadi wacana dan diskursus para pakar dan praktisi hukum.
Saya cukup melihatnya dalam perspektif komunikasi politik. Dalam studi arus informasi terkait dengan politik, dikenal istilah “False Flag Operation”. Sebuah operasi mengkambing hitamkan pihak lawan atas suatu kasus atau kejadian. Inilah penjelasan sepintas bagaimana Tom Lembong memang sedang dijadikan korban atau tumbal politik. Apakah dia bisa menyeret “atasannya” dulu, Tak lain tak bukan Jokowi?
Sulit. Walau sudah tak jadi presiden, basis kekuatan Jokowi masih kokoh. Bahkan Presiden Prabowo juga masih “Sowan” tampo hari ke kediaman Jokowi di Solo, disela-sela menghadiri acara kongres PSI yang mengangkat kembali Putra Jokowi Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum. Sulit bagi Tom Lembong untuk bisa melawan dan meloloskan diri sebagai tumbal kekuasaan.
Satu-satunya jalan yang tersisa, saya kira, terus membangun persepsi publik bagaimana hukum tidak berpihak kepada keadilan dan fakta-fakta yang sebenarnya. Sambil terus membangun ceruk dukungan publik. Terus mengumandangkan apa yang kerap disebut dengan “speak truth to power”. Terus mengatakan kebenaran pada kekuasaan. Dengan begitu, reputasi pasca kriminalisasi tetap terus terjaga dan citra baik bakal kembali seperti semula. Kalau sudah begitu, langkah-langkah karier politik praktik selanjutnya menjadi lebih terbuka.
Yons Achmad. Pengamat Komunikasi. Pendiri Brandstory.id.

Comment